Jumat, 21 Maret 2014

Essay Diri Sendiri

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id
                
                 Nama saya Melinda Prasetyo. Saya lahir pada 17 Oktober 1993 di kota Jakarta. Menurut cerita dari mama, untuk melahirkan saya butuh sedikit perjuangan. Pada saat mama mau ngelahirin, dokter yang seharusnya menangani mama sedang keluar kota jadi kata susternya, mama saya harus mengunggu dulu untuk mencari pengganti dokter yang lain, yang saat itu semua dokter kandungannya sedang sibuk. Akhirnya setelah sekitar 1 jam lebih barulah dokternya datang.
                Saya anak kedua dari 3 bersaudara, saya mempunyai satu kakak cewek dan satu adek cowok. Dari kecil saya anak yang hiperaktif, gak bisa diem, saya juga bandel gak bisa diatur, jadilah saya sering diomelin mama. Waktu kecil saya dekat sama papa, karena papa bisa diajak becanda, kalo mama lebih sering marahnya. Tapi setelah besar dan badan juga lebih tinggi dari mama, mama udah jarang ngomel.
                Dari semasa SD hingga SMP saya termasuk orang yang rajin, aktif, dan ramah sama semua orang dari temen, guru-guru,satpam,ob,ibu kantin semua kenal. Waktu SD saya ikut  pengajian dan pernah ikut lomba solat dan juara 1.
                Waktu awal masuk kuliah, saya sedikit canggung karena setelah lulus SMA saya nganggur 1 tahun untuk focus masuk PTN jadilah selama setahun saya dirumah saja. Waktu pertama kali masuk kelas, saya menyendiri dan dengan muka yang jutek temen-temen yang lain sempat menyeletuk saya psikopat. Untungnya teman-teman laki-lakinya lucu-lucu dan asik jadi buat saya cepat untuk beradaptasi.
                Buat saya teman-teman kuliah saya terutama teman-teman dari tingkat 1 sudah seperti sodara sendiri, terutama yang cewek-ceweknya karena kalau tidak ada mereka, tidak tau gimana kuliah saya, mereka banyak sekali membantu saya. Kalau teman-teman yang cowoknya, asik-asik bisa buat saya ketawa disaat bosan dan bisa saya jailin dan gak pernah marah.
                Untuk dilingkungan rumah, karena saya baru pindah rumah sudah kurang dari setahun ini dan juga selalu sibuk dengan tugas-tugas kuliah, jadilah saya tidak dekat dengan tetangga-tetangga disekitar rumah.


Senin, 17 Maret 2014

BAB 2 HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

2.1       Pendahuluan

Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut tak diketahui ujung pangkalnya.

Namun demikian dalam kepustakan hokum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemungkinan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”,yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi hak kekayaan intelektual. Alasannya adalah kata “Hak Milik” sebenernya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hokum. Padahal tidak semua hak kekayaan intelektual itu meruapakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu.

2.2       Hukum Kekayaan Intelektual
Jika ditelusuri lebih jauh, hak milik intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hokum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu diantara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal itu dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh Hak Milik. Untuk pasal ini, kemudian Prof. Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi ibyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.

Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi, barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud (tidak bertubuh).

Benda immaterial yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak immaterial itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai obyeknya. Hak milik immaterial termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh karena itu hak milik immaterial itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda. Itulah yang disebut dengan nama hak kekayaan intelektual (intellectual property rights).

Kaya “hak milik” (baca juga: hak kekayaan) atau “property” yang digunakan dalam istilah tersebut di atas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Oleh karena kata harta benda/property menisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal hak kekayaan intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industry dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-ketiganya.

Keterangan Bouwman ini sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap usaha pencarian Prof. Mahadi yang dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual”.

Mungkin karena adanya unsure daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya, hingga kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan dalam bisang hak paten (hak kekayaan intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak kekayaan intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hokum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut,
1.      Hak Cipta (Copy Rights)
2.      Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights)

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.      Hak Cipta dan
2.      Hak yang berpadu-padan dengan hak cipta (Neighbouring Rights)

Istilah Neighbouring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hokum Indonesia. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menterjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta.

Penulis menggunakan istilah “hak yang berpadu-padan dengan Hak Cipta”, oleh karena kedua hak itu (Copy Rights maupun Neighbouring Rights) adalah dua hak yang semula bersatu (berpadu tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Neighbouring Rights, dalam hokum Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut Neighbouring Rights itu lahir dan adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa siaran adalah Neighbouring Rights.

Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiaran, yang pertama merupakan hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah Neighbouring Rights. Itulah alasannya, kami lebih cendrung merasakan menggunakan istilah hak berpadu-padan dengan hak cipta, untuk terjemahan istilah Neighbouring Rights. Kedua hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighbouring Rights selalu diikuti dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan ada tidaknya Neighbouring Rights.

2.3       Hukum Kekayaan Industri

Selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikan lagi menjadi:
1.      Patent (Paten)
2.      Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3.      Industrial Design (Desain Industri)
4.      Trade Merk (Merek Dagang)
5.      Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6.      Indication of Source or Appelation of Origin (Sumber tanda atau sebutan asal)

Pengelompokan hak kekayaan perindustrial seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literature, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari Negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping tersebut di atas ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga hak kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Patent
2.      Utility Models
3.      Industrial Secrets
4.      Trade Secrets
5.      Trade Marks
6.      Service Marks
7.      Trade Names or Commercial Names
8.      Appelations of Origin
9.      Indications of Origin
10.  Unfair Competition Protection

Berdasarkan kerangka WTO/TRIP’s ada dua bidang lagi yang perlu ditambangkan yakni:
1.      Perlindungan varietas baru tanaman, dan
2.      Integrated Circuits (sirkuit terpadu)

Dalam perundang-undangan tentang hak milik intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan Intellectual Property Rights tersebut belum ada diatur secara lengkap. Oleh karena itu masing-masing bidang tersebut ditempelkan saja peraturannya dalam perundang-undangan yang sudah ada.

Sampai saat ini yang hanya baru ada pengaturannya, yaitu tentang Hak Cipta yang diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 jo. UU No.7 Tahun 1987, tentang Merek diatur dalam UU No. 19 Tahun 1992, dan tentang Paten diatur dalam UU No.6 Tahun 1989.

Meskipun demikian dalam waktu dekat, Indonesia akan menerbitkan beberapa peraturan baru tentang hak kekayaan intelektual, disamping hak cipta, paten dan merek, yang saat ini sedang diajukan rancangan undang-undang untuk merevisi undang-undang yang sudah ada, juga diajukan rancangan undang-undang lainnya yakni, yang mengatur tentang desain produksi industry, perlindungi variates baru tanaman, rahasia dagang dan sirkuit terpadu (Integrated Citcuits).

Jika ketujuh RUU baru itu disahkan menjadi undang-undang, maka dalam tatanan hokum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual di Indonesia akan meliputi bidng-bidang sebagai berikut:
1.      Hak Cipta
2.      Paten
3.      Merek
4.      Desain Produksi Industri
5.      Perlindungan Varietas Baru Tanaman
6.      Rahasia Dagang
7.      Sirkuit Terpadu (Integrated Circuits).

Jika kita bandingkan dengan ruang lingkup yang diatur dalam hak kekayaan intelektual yakni 14 bidang, maka Indonesia masih harus menerbitkan peraturan-peraturan banyak yang mencakup keseluruhan bidang hokum hak kekayaan inetektual. Namun demikian, khusus untuk bidang yang tidak dikenal dalam hokum Indonesai (seperti Trade Names atau Commercial Names) tidak perlu diprioritaskan. Akan tetapi peraturan untuk itu harus juga dipersiapkan, mengingatkan peraturan bidang hak kekayaan intelektual ini, mengandung implikasi global. Apalagi setelah isu hak kekayaan intelektual iini dimasukkan dalam agenda GATT/WTO (1994) dan diletakkan di bawah satu dewan, yakni Dewan TRIP’s.

Selain hak-hak yang disebut di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum baru lagi yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian hak kekayaan perindustrian, yaitu hak yang terbit dari perjanjian franchising. Pengaturan tentang hal ini di Indonesia samapai saat ini belum ada, namun hubungan hokum yang berkenaan dengan bidang ini sudah berlangsung dalam praktek sehari-hari.


Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti KFC, Pizza Hut atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan resep dalam produk makanan dan minuman tersebut beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasaran produk tersebut. Ada benda immaterial yang menjadi obyek perjanjian dalam perikatan tersebut. Benda immaterial itulah yang dimasudkan sebagai hak kekayaan perindustrian dalam perikatan franchising tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulisan, jika suatu saat nanti Indonesia akan menciptakan peraturan perundang-undangan tentang franchising, seyogyanya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hokum benda, tepatnya dalam sistematika benda tidak berwujud bersama-sama dengan hak kekayaan perindustrian lainnya.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

BAB 1 PENDAHULUAN

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

1.1       Pendahuluan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, maka secara ketatanegaraan terputuslah hubungan seluruh tata tertib hokum Indonesia dengan tata tertib hukum Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu lahirlah Negara Indonesia yang bebas penjajahan. Demikian pula dengan tata tertib hukumnya, dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk menyusun tata tertib hokum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, membutuhkan waktu karena itu suasana setelah proklamasi dinyatakan sebagai “masa peralihan”. Sadar akan hal ini, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan dalam ketentuannya beberapa pasal aturan peralihan.

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal yang terpenting. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini berarti peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, AB, IS dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan.

Setelah mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan Perudang-undangan lainnya itu dinyatakan dicabut. Sebagai contoh dapat dikemukakan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai Bumi, Air, serta Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang menganai Perkawinan setelah keluar UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, HIR dicabut setelah keluar UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa pengecualian.

Demikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, tentang Hak Cipta.

Undang-Undang yang disebut terakhir ini, menjalani banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Namun belum lagi selesai tantangan untuk menggantikan Hukum Kolonial dengan Hukum Indonesia, timbul pula tantangan baru. Tantangan baru itu adalah UU Produk Indonesia Merdeka yang semula dimaksudkan untuk menggantikan Hukum Kolonial ternyata belum siap untuk menjawab problema hokum dalam masyarakat Indonesia. Untuk kasus ini sebut saja misalnya UU No. 6 Tahun 1982 yang merupakan produk hukum Negara Republik Indonesia yang baru saja berusia lima tahun dengan berbagai pertimbangan, terpaksa harus direvisi. Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan tuntutan hokum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu dengan UU No. 7 Tahun 1987, UU No . 6 Tahun 1982 tersebut kemudian diperbaharui.

Demikianlah usaha-usaha pemerintah dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP No. II/MPR/1983, TAP MPR II/MPR/1988, dan TAP MPR II/MPR/1993 yang diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum Nasional yang didasarkan kepada landasan sumber tertib hukum yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

1.2       Definisi dan Istilah Hukum Industri Pada Terbentuknya Jiwa Inovatif

Kodifikasi Hukum Nasional yang dimaksud meliputi antara lain bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.

Pengaturan tentang Hak Cipta adalah merupakan bidang Hukum Perdata yang termasuk dalam bagian Hukum Benda. Khusus mengenai Hukum Benda di sana terdapat pengaturan tentang Hak Kebendaan. Hak Kebendaan itu sendiri terdiri atas Hak Benda Materil dan Immateril. Dalam tulisan ini kami hanya mengetengahkan tentang Hak Atas Benda Immateril, yang dalam kepustakaan hokum sering disebut dengan istilah Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights) yang teridiri dari Copy Rights (Hak Cipta) dan Industrial Property Rights (Hak Milik Industri). Hak Cipta adalah merupakan, hasil atau penemuan yang merupakan kreativitas manusia di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Masalah Hak Cipta adalah masalah yang sangat luas, karena tidak menyangkut hak-hak individu saja yang berada dalam lingkungan nasional, tetapi juga menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu Negara yang untuk selanjutnya bergumul dalam lingkungan Internasional.

Sama halnya dengan Hak Cipta dalam hal perlindungan Hak Milik Industri yang terdiri dari Hak Merek, Hak Paten, Hak Desain Produk Industri, dan lain-lain maka perlindungannya juga menembus dinding-dinding Nasional.

Arti penting perlindungan Hak Milik Intelektual ini menjadi lebih dari sekedar keharusan setelah dicapainya kesepekatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan pada bulan Januari 1995. Dalam struktur lembaga WTO terdapat dewan umum (General Council) yang berada di bawah Dirjen WTO. Dewan umum ini selanjutnya membawahi tiga dewan, yang salah satu di antaranya adalah dewan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

TRIPs ini dapat dikatakan sebagai isu baru dalam kancah perekonomian internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Bagi Indonesia dan Negara-negara Selatan, ini sudah tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri, yang cendrung menempatkan Negara-negara ini pada posisi yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi yang tertindas. Oleh karenanya perhatian khusus serta pemahaman tersendiri terhadap Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka WTO menjadi sangat penting.

Ternyata persoalan-persoalan diatas tidak pula berhenti sampai disitu saja. Era globalisasi yang ditandai dengan kecendrungan Negara-negara di dunia membentuk blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hokum Hak Kekayaan Intelektual.

Masuknya jenis-jenis makanan dari luar negeri seperti beberapa fast food restaurant yang marak di Indonesia dikenal dengan bisnis Franchise. Dalam bisnis Franchise ada Hak Kekayaan Intelektual yang ditawarkan. Mulai dari Hak Cipta, Merek, dan Desain Produk Industri (kemasan) samapai kepada Hak Paten.

Sayangnya sampai saat ini, dalam tata hukum Indonesia figur hukum Franchise ini belum mendapatkan tempat yang pasti dalam kerangkan sistem Hukum Perdata.


Beberapa catatan dalam berbagai seminar mengenai Franchise belum ada suatu pembahasan mengenai tempat Franchisee dalam kerangka Hukum Benda. Padahal ada benda immateril yang ikut dialihkan dalam perikatan antara Franchisor dengan Franchisee.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.