Minggu, 11 Mei 2014

Pasal-Pasal Hak Kekayaan Intelektual

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id


Hak kekayaan intelektual terdiri dari Hak Cipta dan Hak Kekayaan Perindustrian. Untuk itu, Pasal yang akan dibahas saat ini adalah tentang Hak Cipta.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1982
TENTANG HAK CIPTA

Bagaian Pertama
Arti Beberapa Istilah
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.       Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi
b.      Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam lapangan ilmu, seni, dan sastra
c.       Pengumuman adalah pembacaanm penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain
d.      Perbanyakan adalah menambah jumlah sesuatu ciptaan, dengan pembuatan yang sama, hamper sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalih wujudkan sesuatu ciptaan
e.       Potret adalah gambaran dengan cara dan alat apapun dari wajah orang yang digambarkan baik bersama bagian tubuh lainnya maupun tidak
Bagian Kedua
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Pasal 2
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya memupun memberi izin intuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 3
1.      Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak
2.      Hak cipta dapat beralih atau diahlikan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a.       Pewarisan
b.      Hibah
c.       Wasiat
d.      Dijadikan milik negara
e.       Perjanjian, yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanyaa mengenai wewenang yang disebut di dalam akta itu
f.       Pasal 4
g.      Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta, demikian pula hak cipta yang tidak diumumkan yang setelah penciptanya meninggal dunia menjadi milik ahli warisnya atau penerima wasiat, tidak dapat disita
Bagian Ketiga
Pencipta
Pasal 5
1.      Kecuali jika ada bukti tentang hal sebaliknya, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang untuk ciptaan itu namanya terdaftar sebagai pencita menurut ketentuan Pasal 29, atau jika ciptaan itu tidak terdaftarkan, orang yang dalam atau pada ciptaannya itu disebut atau dinyatakan sebagai penciptanya, atau orang yang pada pengumuman sesuatu ciptaan diumumkan sebagai penciptanya
2.      Jika pada ceramah yang tidak tertulis tidak ada pemberitahuan siapa yang menjadi penciptanya, maka orang yang berceramah dianggap sebagai penciptanya, kecuali terbukti hal sebaliknya
Pasal 6
Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih, maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya
Pasal 7
Jika suatu ciptaan diwujudkan menurut rancangan seseorang dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasannya, maka orang yang merancang itu adalah penciptanya
Pasal 8
1.      Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, maka pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak cipta, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak, dengan tidak mengurangi hak si pembuat sebagai penciptanya apabila penggunaan ciptaan itu diperluas keluar hubungan dinas
2.      Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya,maka pihak yang membuat karya cipta itu sebagai pencipta adalah pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak
Pasal 9
Jika suatu badan hokum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai pencitanya, maka badan hokum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1982
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 1
a.       Pencipta harus menciptakan sesuatu yang asli dalam arti tidak meniru
b.      Cukup jelas
c.       Cukup jelas
d.      Dengan mengalih wujudkan dimaksud transformasi, seperti patung dijasikan lukisan, cerita roman menjadi drama, drama bias menjadi drama radio dan sebagainya
Pasal 2
Dengan hak khusus dari pencipta dimaksudkan bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu atau orang lain kecuali dengan izin pencipta
Pasal 3
Hak cipta dianggap benda yang bergerak dan immaterial
Hak cipta tidak dapat diahlikan secara lisan, harus dengan akta otentik atau akta dibawah tangan
Pasal 4
Berhubung sifat ciptaan adalah pribadi dan menunggal dengan diri pencipta, maka hak pribadi itu tidak dapat disita dari padanya.
Pasal 5
Ayat 1
            Cukup jelas
Ayat 2
            Yang dimaksud disini hanya ceramah saja dan bukan pemain ciptaan music, karena hamper semua pembawa lagu bukanlah penciptanya
Pasal 6 dan Pasal 7
Ketentuan dalam pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menetapkan siapa yang dianggap pencipta
Pasal 8
1.      Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian negeri dengan instansinya
2.      Yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan karyawan dengan pemberi kerja di lembaga swasta
Pasal 9
Badan hokum sebagai pencipta dalam pasal ini diatur tersendiri karena adanya beda khusus dari orang atau orang-orang sevagai pencipta antara lain apabila ditinjau dari sudut masa berlakunya hak cipta.
Dengan badan hokum disini dimaksudkan juga instansi resmi.



Refrensi:

Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

BAB 7 KONVENSI INTERNASIONAL

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id


Perlindungan hak cipta secara domestic saja tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta. Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hokum yang diharapkan itu benar-benar mereka (si pencipta) peroleh.
Oleh karena itu perlindungan hak cipta secara internasional tidak dapat ditunda-tunda. Untuk perlindungan hak cpta secara internasional saat ini ada dua konvensi internasional yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention.

7.1       Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta
Konevsi internasional adalah perjanjian internasional. Mengenal perjanjian internasional sangat banyak kita temui peristilahannya. Istilah yang sering digunakan adalah treaty (traktat), pact (pakta); convention (konvensi), charter, declaration, protocol, arrangement, accord, modus Vivendi, convenant dan lain-lain. Mochtar memberi definisi bahwa “perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hokum tertentu”
Oleh Edy Suryono ditegaskan bahwa dalam perjanjian internasional yang penting adalah kehendak negara untuk diikat dalam perjanjian itu. Satu hal yang penting adalah bahaw suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga. Persetujuan itu harus diberikan secar tertulis serta hak dan kewajiban pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian itu. Setelah memenuhi syarat yang demikian, barulah ia sempurna dan untuk selanjutnya mengikat pihak ketiga tersebut secara sah.
Untuk keadaan seperti ini dalam teori mengenai perjanjian internasional diebutkan sebagai treaty contract, yaitu menimbulkan hokum bagi para peserta, sedangkan yang berikutnya adalah “law making treaty” yaitu secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah bagi semua masyarakat internasional dan tidak hanya bagi pihak-pihak peserta.
Sebenarnya perbedaan antara keduanya tidak begitu mendasar. Jika ditinjau secara juridis menurut bentuknya setiap perjanjian internasional baik law making treaty maupun treaty contract adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakan dan akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi para peserta.
Selanjutnya mengenai istilah konvensi untuk perjanjian internasional adalah merupakan istilah yang paling popular. Konvensi sering digunakan untuk jenis perjanjian multiteral, daripada bilateral. Dalam hal ini dapat kita kemukakan contoh seperti, Konvensi Hukum Laut, Konvensi Wina, Konvensi Bern,dll.
Selanjutnya prosedur pembentukan konvensi ini pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing negara sesuai dengan ketentuan konstitusi negaranya.
Oleh Mochtar disebutkan tahapan-tahapan tertentu yang harus dilakukan dalam pembuatan perjanjian internasional yaitu:
1.      Perundingan (negotiation)
2.      Penandatanganan (signatur)
3.      Pengesahan (ratification)
Selanjutnya mengenai hal ini, berdasarkan Konvensi Wina 1969, menurut rangkaian pasal-pasalnya telah pula memuat rangkaian tertentu tentang tahapan yang harus dilalui untuk membuat perjanjian internasional. Pola tahapan itu menurut Ny. Mieke Komar, sebagaimana dikutip oleh Syahmin AK, yaitu:
1.      Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian atau nama negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan full powers tersebut.
2.      Harus melalui tahapan perundingan dan perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahaan naskah perjanjian
3.      Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu negara dapat menyatakan persetujuan (consent)-nya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian yakni dengan penandatanganan (signature), pertukaran instruments ratifikasi, pernyataan ikut serta (accession), misalnya.
4.      Harus ditentukan perihal waktu antara penandatanganan dan mulai berlakunya perjanjian.
Selanjutnya mengenai prosedur ratifikasi tergantung pula pada konstitusi masing-masing negara. Untuk Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dan membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dari ketentuan ini untuk Indonesia , prosedur ratifikasi itu dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Selain dasar hokum nasional ada lagi dasar hokum internasional mengenai prosedur ratifikasi ini yaitu yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties pada Pasal 43 Sub 3 Piagam PBB.
Vienna Convention dalam pasala 11 menyatakan:
The consent of a state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession or by any other means it so agred.
Selanjutnya Pasal 43 Sub 3 Piagam PBB berbunyi:
            The agreement or agreements shall be negotiated as soon as possible on the initiative of the security council. They shall be concluded between the security council and groups of members and shall be subject to ratification by the signature state in accord dance with their respective constitutional proceses.
            Selain itu dasar hokum internasional dalam hal ratifikasi selain terdapat dalam konvensi juga dapat dijumpai perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral.
Ratifikasi ini penting artinya bagi perjanjian internasional. Menurut hokum internasional bahwa perjanjian internasional itu harus disahkan oleh tiap-tiap negara yang turut serta dalam  tersebut, agar ia mengikat.
Menurut Ali Sastroamidjojo bahwa, perjanjian internasional itu sudah dianggap sah jika persetujuan timbale balik (mutual consent) oleh semua pihak yang membuat perjanjian itu telah dinyatakan secara konkrit.
Persetujuan timbal balik itu ada apabila masing-masing pihak dalam perjanjian itu telah meratifikasi.
Konvensi Wina 1969 merumuskan ratifikasi sebagai berikut:
Ratification mean in each case the international act so named where by a state establishes on the international plane its consent to be bound by atreaty.
 Ratifikasi dalam artian ini adalah merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dalam suatu perjanjian.
Jika demikian halnya, maka sesungguhnya ratifikasi itu mempunyai tujuan tertentu. Dengan ratifikasi itu berarti memberikan kekuatan mengikat agar dengan demikian perjanjian tersebut berlaku bagi negara-negara penandatanganan secara sah.
Vienna Convention 1969 menyatakan bahwa, Consent to be bound a  treaty expressed by ratification, acceptance or approval.
Maka dengan pemberian ratifikasi tersebut berarti suatu negara yang bersangkutan telah menyatakan persetujuannya untuk mengikat dirinya pada suatu perjanjian. Sebaliknya apabila ratifikasi tersebut ditolak maka perjanjian itu dihapus sama sekali, meskipun sebelulmnya telah ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang bersangkutan.
Secara juridis, perjanjian internasional itu akan menerbitkan hak-hak dan kewajiban bagi negara peserta. Maka apabila persetujuan telah tercapai timbullah hak-hak dan kewajiban bagi para negara peserta yang telah mengikatkan dirinya. Hak yang ada pada kita menimbulkan pula kewajiban kepada orang lain untuk menghormatinya, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari perjanjian internasional adalah untuk melindungi atau memberikan kepastan atas hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada semua negara peserta.
Kesimpulan tersebut jika dikaitkan dengan konvensi internasional tentang hak cipta, maka akan diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara internasional.
Secara teoritis, subjek hokum internasional sebenarnya hanyalah negara-negara, dan dimana perjanjian internasional seperti Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1941 memberikan hak-hak dan kewajiban tertentu, maka hak-hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada perorangan atau individu melalui negaranya yang menjadi peserta konvensi. Pada akhirnya individulah yang menjadi tujuan perlindungan diadakannya konvensi internasional tentang hak cipta ini.

7.2       Berner Convention
            Konvensi Bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1986 dan telah berulang kali mengalami revisi serta penyempurnaan.
Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1986, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian mengalami penyempurnaan di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948 , di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.
Sampai pada tahun 1971 keanggotaan Konvensi Bern berjumlah 45 negara. Mengenai rumusan pengertian hak cipta menurut Konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirumuskan oleh Austeurswet 1912.
Yang menjadi objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah, dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun, demikian yang dapat diungkap dari rumusan Pasal 2 Konvensi Bern.
Dari Pasal 3 dapat disimpulkan bahwa disamping karya-karya asli, dilindungi juga karya-karya yang termasuk terjemahan, saduran, aransemen music, produksi lain berbentuk saduran dari suatu karya sastra atau seni, termasuk karya photograpis. Satu hal yang penting dalam Konvensi Bern adalah mengenai perlindungan yang diberikannya terhadap pencipta atau pemegang hak.
Pasal 5 (setelah direvisi di Paris tahun 1971) adalah merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini para pencipta akan mendapatkan perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Dengan kata lain para pencipta yang merupakan warga negara dari salah satu negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh perlindungan di negara-negara yang tergabung dalam union.
Pasal 5 Konvensi Bern berbunyi:
Author shall enjoy in respect of work to which they are protected under this convention, in countries of the union other that the country of origin, the right which their respective laws do now or may here after grant to their national as well as the right specially granted by this convention.
Sudargo Gautama mengatakan perlindungan menurut pasal ini adalah terutama perlindungan dari orang-orang asing untuk karya mereka dalam negar-negara lain daripada negara dimana mereka melakukan penerbitan pertama karya mereka. Pencipta diberikan perlindungan dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidak perlindungan yang diberikan oleh negara asalnya. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa pencipta yang bergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan bekerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undangnya terhadap warga negara sendiri.  Jadi, warga negara  dan warga asing diberikan perlindungan yang sama.
Konvensi Bern telah mengalami revisi dan penyempurnaan. Penyempurnaan yang penting artinya khusus bagi negara dunia ketiga adalah dengan dimuatnya protocol (merupakan tambahan atau supplement dari suatu perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967.
Kemudian protocol ini telah diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri dalam konvensi ini. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 21 dari teks Konvensi Bern yang terjemahannya berbunyi, “Ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan negara berkembang dimasukkan dalam appendix tersendiri.
Dengan adanya protocol Stockholm ini maka negara-negara berkemabang mendapatkan pengecualian atau reserve yang berkenaan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Pengecualian ini hanya berlaku untuk negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural.
Pengecualian dapat dilakukan mengai hal yang berkenaan dengan hak melakukan terjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutio dari artikel-artikel dari berta pers, hak untuk melakukan siaran radio dan perlindungan dari karya sastra dan seni untuk tujuan pendidikan, ilmiah, atau sekolah.
Pasal II Protokol Stockholm mencantumkan kemungkinan untuk memperolaeh lisensi (izin) secara paksa untuk menerjemahkan karya-karya kuar negeri. Selain itu juga memuat ketentuan pembatasan jangka waktu perlindungan hak cipta. Ketentuan yang diterima 50 tahun dalam Konvensi Bern (Pasal 7), untuk negara berkembang dengan Protokol Stockholm dikurangi menjadi 25 tahun setelah meninggalnya si pencipta.

7.3       Universal Copyright Convention (UCC)
Universal Copyright Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1992 dan baru mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini juga mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris. Konvensi ini terdiri dari 21 Pasal dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang pelarian.
Hal ini dapat dimengerti karena secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau orang-orang pelarian perlu dilindungi. Salah satu tujuan perlindungan hak cipta itu dapat tercapai yaitu untuk mendorong kreativitas dan aktivitas para pencipta tidak terkecuali orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan amupun orang-orang pelarian. Dengan dilindunginya hak ciptanya mereka mendapatkan kepastian hokum.
Protocol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya dari organisasi internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Ini lah yang menjadi dasar konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO, oleh sebab itu dalam protocol ini diatur secara khusus perlindungan karya dari badan organisasi internasional.
Protocol III mengenai tentang cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan bersyarat.
Universal Copyright Convention, dalam Pasal V menyebutkan pengertian hak cipta. Menurut pasal ini hak cipta meliputi hak tunggal pencipta untuk membuat, menerbitkan, dan memberi kuasa untuk menerbitkan dan membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.
Pasal IV bis menyebutkan jika yang dianggap sebagai hak cipta adalah karya dalam bentuk asli maupun terjemahannya. Khusus mengenai terjemahan, hak untuk melakukan terjemahan pertama-tama diberikan dari pihak pencipta. Namun pasal ini juga menentukan bahwa setiap negara peserta dapat menetapkan dalam perundangan nasionalnya sendiri mengenai pembatasan hak terjemahan.
Pasal IV menentukan pembatasan jangka waktu hak cipta yaitu selama hidup pencipta dan selama 25 tahun setelah meninggalnya pencipta.
Pasal V ayat 2, pasal V ter dan pasal V bis mengatur tentang lisensi paksa dalam hal terjemahan. Jika dikaitkan antara Pasal IV, Pasal IV bis, Pasal V, Pasal V bis, Pasal V ter, bahwa Universal Copyright Convention ini memberikan batasan terhadap hak monopoli pencipta. Artinya kepada seorang pencipta hasil suatu karya sebanyak mungkin digunakan untuk kepentingan umum, jadi tidak untuk kepentingan pribadi semata-mata.
Dalam hal ini banyak yang diperhatikan untuk kepentingan negara berkembang. Itu sebabnya Pasal V ter memberikan batasan tertentu terhadap ha pencipta asli untuk terjemahan yang diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan.
Jika dibandingkan antara Konvensi Bern dan Universal Copyright Convention, perbedaannya terletak pada dasar falsafah yang dianutnya. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.
Sedangkan Universal Copryright Convention menganggap bahwa hak cipta timbul karena adanya ketentuan yang memberikan hak tsb kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
UHC 1982 diperbarui dengan UHC 1987, dimana hak cipta dilahirkan oleh undang-undang. Pembatasan-pembatasan tertentu antara lain menyebutkan bahwa hak cipta itu berfungsi social.




Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


BAB 6 UU PERINDUSTRIAN

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id


6.1       Latar Belakang UU Perindustrian
            Hak milik perindustrian (industrial property right) merupakan bagian dari hak milik intelektual (intellectual property right). Termasuk kedalam hak milik industrial ini adalah hak paten, hak merek, hak desain produk, dan lain-lain.
Hak paten merupakan suatu hak khusus berdasarkan undang-undang diberikan kepada si penemu (uitvinder) atau menurut hokum pihak yang berhak memperolehnya, atas permintaannya yang diajukan kepada pihak penguasa, bagi temuan baru, perbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru, atau menemukan suatu perbaikan baru dalam cara kerja, untuk selama jangka waktu tertentu yang dapat diterapkan dalam bidang industry.
            Temuan baru, eprbaikan atas temuan yang sudah ada, cara kerja baru atau menemukan suatu perbaikan baru cara kerja, harus mengundang langkah inventif (inventive step), yaitu langkah pemikiran kreatif yang lebih maju dari hasil penemuan sebelumnya.
Unsure industry mendapat tempat yang penting. Temuan-temuan itu harus dapat diterapkan dalam bidang industry. Apabila itu ndustri otomotif, industry tekstil, industry parawisata, industry pertanian, industry makanan dan minuman, dan lain-lain.
Sebelum melihat lebih jauh tentang paten ini, ada baiknya kita  lihat dulu rumusan paten dalam hokum positif Indonesia. Paten dalam Undang-Undang Paten No. 6/1989 dirumuskan sebagai berikut:
1:         Paten adalah hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya dibidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya.
2:         Penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu dibidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi.
Kata “hasil penemuan” dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 6/1989 tersebut adalah merupakan pilihan kata yang keliru. Pemakaian kata “hasil penemuan” menyebabkan temuan itu menjadi benda nyata (benda berwujud). Lihatlah hasil temuan teknologi dalam bidang pesawat terbang, hasilnya adalah pesawat dengan berbagai tipe.
Demikian juga dengan hasil temuan teknologi dalam bidang industry alat-alat rumah tangga yang menghasilkan sendok, garpu, piring, dll, yang menunjukkan benda materil. Padahal yang dimaskud oleh pembuat undang-undang adalah haknya, yaitu berupa ide yang lahir dari penemuan tersebut. Jadi bukan bendanya. Oleh karena itu jika yang dimaskud adalah idenya maka pelaksanaan dari ide itu yang kemudian menghasilkan bentuk benda materil. Ide itu sendiri adlah benda materil yang lahir dari proses intelektual manusia.
            Dapat disimpulkan bahwa hak paten diberikan bagi penemuan dalam bidang teknologi dan teknologi yang dimaksud pada dasarnya adalah berupa ide (immaterial) yang diterapkan dalam proses industry.
Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual manusia. karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu, dan biaya, maka teknologi memiliki nilai atau sesuatu yang bernilai ekonomi, yang dapat menjadi objek harta kekayaan (property). Dalam ilmu hokum yang secara luas dianut oleh bangsa-bangsa lain, hak atas daya piker intelektual terseut diakui sebagai hak milik yang sifatnya tidak berwujud. Hak seperti ini yang dikenal sebagao hak Paten.

6.2       UU No. 5 Tahun 1984
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.     Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
2.     Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
3.     Kelompok industri adalah bagian-bagian utama kegiatan industri, yakni kelompok industri hulu atau juga disebut kelompok industri dasar, kelompok industri hilir, dan kelompok industri kecil.
4.     Cabang industri adalah bagian suatu kelompok industri yang mempunyai ciri umum yang sama dalam proses produksi.
5.     Jenis industri adalah bagian suatu cabang industri yang mempunyai ciri khusus yang sama dan/atau hasilnya bersifat akhir dalam proses produksi.
6.     Bidang usaha industri adalah lapangan kegiatan yang bersangkutan dengan cabang industri atau jenis industri.
7.     Perusahaan industri adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri.
8.     Bahan mentah adalah semua bahan yang didapat dari sumber daya alam dan/atau yang diperoleh dari usaha manusia untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
9.     Bahan baku industri adalah bahan mentah yang diolah atau tidak diolah yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana produksi dalam industri.
10.   Barang setengah jadi adalah bahan mentah atau bahan baku yang telah mengalami satu atau beberapa tahap proses industri yang dapat diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.
11.   Barang jadi adalah barang hasil industri yang sudah siap pakai untuk konsumsi akhir ataupun siap pakai sebagai alat produksi.
12.   Teknologi industri adalah cara proses pengolahan yang diterapkan dalam industri.
13.   Teknologi yang tepat guna adalah teknologi yang tepat dan berguna bagi suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah.
14.   Rancang bangun industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perencanaan pendirian industri/pabrik secara keseturuhan atau bagian-bagiannya.
15.   Perekayasaan industri adalah kegiatan industri yang berhubungan dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan industri lainnya.
16.   Standar industri adalah ketentuan-ketentuan terhadap hasil produksi industri yang di satu segi menyangkut bentuk, ukuran, komposisi, mutu, dan lain-lain serta di segi lain menyangkut cara mengolah, cara menggambar, cara menguji dan lain-lain.
17.   Standarisasi industri adalah penyeragaman dan penerapan dari standar industri.
18.   Tatanan industri adalah tertib susunan dan pengaturan dalam arti seluas-luasnya bagi industri.

BAB II
LANDASAN DAN TUJUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI

Pasal 2
Pembangunan industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan diri sendiri, manfaat, dan kelestarian hngkungan hidup.

Pasal 3
Pembangunan industri bertujuan untuk:
1.    meningkatkan kemakmuran dan keseiahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup;
2.    meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara bertahap, mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik, maju, sehat, dan lebih seimbang sebagai upaya untuk mewujudkan dasar yang lebih kuat dan lebih luas bagi pertumbuhan ekonomi pada umumnya, serta memberikan nitai tambah bagi pertumbuhan industri pada khususnya;
3.    meningkatkan kemampuan dan penguasaan serta mendorong terciptanya teknologi yang tepat guna dan menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha nasional;
4.    meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan kemampuan golongan ekonomi lemah, termasuk pengrajin agar berperan secara aktif dalam pembangunan industri;
5.    memperluas dan memeratakan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan peranan koperasi industri;
6.    meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil produksi nasional yang bermutu, disamping penghematan devisa melalui pengutamaan pemakaian hasil produksi dalam negeri, guna mengurangi ketergantungan kepada luar negeri;
7.    mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan industri yang menunjang pembangunan daerah dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara;
8.    menunjang dan memperkuat stabilitas nasional yang dinamis dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.

BAB III
PEMBANGUNAN INDUSTRI

Pasal 4
(1)   Cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5
(1)   Pemerintah menetapkan bidang usaha industri yang masuk dalam kelompok industri kecil, termasuk industri yang menggunakan keterampilan tradisional dan industri penghasil benda seni, yang dapat diusahakan hanya oleh Warga Negara Republik Indonesia.
(2)   Pemerintah menetapkan jenis-jenis industri yang khusus dicadangkan bagi kegiatan industii kecil yang dilakukan oleh masyarakat pengusaha dari golongan ekonomi lemah.
(3)   Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Pasal 6
Pemerintah menetapkan bidang usaha industri untuk penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.

BAB IV
PENGATURAN, PEMBINAAN, DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI

Pasal 7
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, untuk:
1.     mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna;
2.     mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
3.     mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.

Pasal 8
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan bidang usaha industri secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk memperkokoh struktur industri nasional pada setiap tahap perkembangan industri.

Pasal 9
Pengaturan dan pembinaan bidang usaha industri dilakukan dengan memperhatikan:
1.     Penyebaran dan pemerataan pembangunan industri dengan memanfaatkan sumber daya alam dan manusia dengan mempergunakan proses industri dan teknologi yang tepat guna untuk dapat tumbuh dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri;
2.     Penciptaan iklim yang sehat bagi pertumbuhan industri dan pencegahan persaingan yang tidak jujur antara perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan industri, agar dapat dihindarkan pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perorangan.dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
3.     Perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industii dalam negeri pada khususnya;
4.     Pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.

Pasal 10
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan bagi:
1.     keterkaitan antara bidang-bidang usaha industri untuk meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebih besar bagi pertumbuhan produksi nasional:
2.     keterkaitan antara bidang usaha industri dengan sektor-sektor bidang ekonomi lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah serta sumbangan yang lebib besar bagi pertumbuhan produksi nasional;
3.     pertumbuhan industri melalui prakarsa, peran serta, dan swadaya masyarakat.

Pasal 11
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan industri dalam menyelenggarakan kerja sama yang saling menguntungkan, dan mengusahakan peningkatan serta pengembangan kerja sama tersebut.

Pasal 12
Untuk mendorong pengembangan cabang-cabang industri dan jenis-jenis industri tertentu di dalam negeri, Pemerintah dapat memberikan kemudahan dan/atau perlindungan yang diperlukan.

BAB V
IZIN USAHA INDUSTRI

Pasal 13
(1)   Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh Izin Usaha Industri.
(2)   Pemberian Izin Usaha Industri terkait dengan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri.
(3)   Kewajiban memperoleh Izin Usaha Industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(4)   Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
(1)   Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib menyampaikan infonnasi industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada Pemerintah.
(2)   Kewajiban untuk menyampaikan informasi industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.
(3)   Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian informasi industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
(1)   Sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diperolehnya berdasarkan Pasal 13 ayat (1), perusahaan industri wajib melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya.
(2)   Pemerintah mengadakan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya.
(3)   Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses serta hasil produksi industri termasuk pengangkutannya.
(4)   Tata cara penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
TEKNOLOGI INDUSTRI, DESAIN PRODUK INDUSTRI, RANCANG BANGUN
DAN PEREKAYASAAN INDUSTRI, DAN STANDARDISASI.

Pasal 16
(1)   Dalam menjalankan dan/atau mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah dikembangkan di dalam negeri.
(2)   Apabila perangkat teknologi industri yang diperlukan tidak tersedia atau tidak cukup tersedia di dalam negeri, Pemerintah membantu pemilihan perangkat teknologi industri dari luar negeri yang diperlukan dan mengatur pengalihannya ke dalam negeri.
(3)   Pemilihan dan pengalihan teknologi industri dari luar negeri yang bersifat strategis dan diperlukan bagi pengembangan industri di dalam negeri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah,

Pasal 17
Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang ketentuanketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
Pemerintah mendorong pengembangan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan industri.

Pasal 19
Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi.


BAB VII
WILAYAH INDUSTRI

Pasal 20
(1)   Pemerintah dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VIII
INDUSTRI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 21
(1)   Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan Hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.
(2)   Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap Ungkungan hidup akibat kegiatan industri.
(3)    Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.


BAB IX
PENYERAHAN KEWENANGAN DAN URUSAN TENTANG INDUSTRI

Pasal 22
Penyerahan kewenangan tentang pengaturan, pembinaan, dan pengembangan terhadap industri, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 23
Penyerahan urusan dan penarikannya kembali mengenai bidang usaha industri tertentu dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, ditakukan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 24
(1)   Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh limajuta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.
(2)   Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satujuta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.

Pasal 25
Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah).

Pasal 26
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut izin Usaha Industrinya.

Pasal 27
(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2)   Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbutan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 28
(1)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 ayat (1) adalah kejahatan.
(2)   Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 27 ayat (2) adalah pelanggaran.


BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 29
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perindustrian yang tidak hertentangan dengan Undang-Undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan Undang-Undang ini.


BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Bedrijfsreglementeeringsordonnantie 1934 (Staatsbiad 1934 Nomor 595) dinyatakan tidak berlaku lagi bagi industri.

Pasal 31
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Juni 1984.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 22





Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://bplhd.jakarta.go.id/peraturan/uu/UU%20RI%20NO%2005%20TAHUN%201984.pdf