GUNADARMA University
www.gunadarma.ac.id
2.1 Pendahuluan
Prof. Mahadi ketika menulis
buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan jelas
tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “intelektual” yang
digunakan dalam kalimat tersebut tak diketahui ujung pangkalnya.
Namun demikian dalam
kepustakan hokum Anglo Saxon ada
dikenal sebutan Intellectual Property
Rights. Kata ini kemungkinan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “Hak Milik Intelektual”,yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih
tepat kalau diterjemahkan menjadi hak kekayaan intelektual. Alasannya adalah
kata “Hak Milik” sebenernya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan
hokum. Padahal tidak semua hak kekayaan intelektual itu meruapakan hak milik
dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau
untuk menggunakannya dalam produk tertentu.
2.2 Hukum Kekayaan Intelektual
Jika ditelusuri lebih jauh,
hak milik intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak
berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hokum perdata dapat
diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu diantara kategori itu,
adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak
berwujud. Untuk hal itu dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh
pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud
dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh
Hak Milik. Untuk pasal ini, kemudian Prof. Mahadi menawarkan, seandainya
dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai
berikut: yang dapat menjadi ibyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri
dari barang dan hak.
Selanjutnya sebagaimana
diterangkan oleh Prof. Mahadi, barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH
Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk
voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Ini sejalan dengan
klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke
dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud (tidak bertubuh).
Benda immaterial yang berupa
hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak
sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak
kekayaan intelektual (intellectual
property rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo,
sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak
immaterial itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai obyeknya. Hak milik
immaterial termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh
karena itu hak milik immaterial itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak
benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas
sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda. Itulah yang
disebut dengan nama hak kekayaan intelektual (intellectual property rights).
Kaya “hak milik” (baca juga:
hak kekayaan) atau “property” yang
digunakan dalam istilah tersebut di atas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor
Mout-Bouwman. Oleh karena kata harta benda/property
menisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal hak kekayaan intelektual itu
tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia
merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke
dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk
penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta
itu dapat berwujud dalam bidang seni, industry
dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-ketiganya.
Keterangan Bouwman ini
sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap usaha pencarian Prof. Mahadi yang
dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual”.
Mungkin karena adanya unsure
daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan
sebuah karya, hingga kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan
yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.
Konsekuensi lebih lanjut
dari batasan hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang menjadi
bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda
materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu
pengetahuan (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil material yang menjadi
bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan dalam bisang hak paten (hak
kekayaan intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya
adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak
kekayaan intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan
dari hak tersebut dilindungi oleh hokum benda dalam kategori benda materil
(benda berwujud).
Pengelompokan hak kekayaan
intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai
berikut,
1.
Hak Cipta (Copy Rights)
2.
Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights)
Hak
Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.
Hak Cipta dan
2.
Hak yang berpadu-padan dengan hak cipta (Neighbouring Rights)
Istilah Neighbouring
Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hokum Indonesia. Ada
yang menterjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula
yang menterjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan
dengan hak cipta.
Penulis menggunakan istilah “hak yang berpadu-padan dengan
Hak Cipta”, oleh karena kedua hak itu (Copy Rights maupun Neighbouring Rights) adalah dua hak yang semula bersatu (berpadu
tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Neighbouring Rights, dalam hokum Indonesia,
pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika
ditelusuri lebih lanjut Neighbouring
Rights itu lahir dan adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan
sepak bola adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi
yakni berupa siaran adalah Neighbouring
Rights.
Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan.
Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiaran, yang pertama merupakan
hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah Neighbouring Rights. Itulah alasannya, kami lebih cendrung
merasakan menggunakan istilah hak berpadu-padan dengan hak cipta, untuk
terjemahan istilah Neighbouring Rights. Kedua
hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighbouring Rights selalu diikuti
dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak memiliki
keterkaitan sama sekali dengan ada tidaknya Neighbouring
Rights.
2.3 Hukum Kekayaan Industri
Selanjutnya
hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikan lagi menjadi:
1.
Patent (Paten)
2.
Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3.
Industrial Design (Desain Industri)
4.
Trade Merk (Merek Dagang)
5.
Trade Names (Nama Niaga atau Nama
Dagang)
6.
Indication of Source or
Appelation of Origin (Sumber tanda atau sebutan asal)
Pengelompokan hak kekayaan perindustrial
seperti tertera di atas didasarkan pada Convention
Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literature,
khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari Negara yang menganut sistem
hukum Anglo Saxon, bidang hak
kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping tersebut di atas ditambah lagi
beberapa bidang lain yaitu: Trade
Secrets, Service Mark dan Unfair
Competition Protection. Sehingga hak kekayaan perindustrian itu dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Patent
2.
Utility Models
3.
Industrial Secrets
4.
Trade Secrets
5.
Trade Marks
6.
Service Marks
7.
Trade Names or Commercial
Names
8.
Appelations of Origin
9.
Indications of Origin
10. Unfair Competition Protection
Berdasarkan kerangka
WTO/TRIP’s ada dua bidang lagi yang perlu ditambangkan yakni:
1.
Perlindungan varietas baru tanaman, dan
2.
Integrated Circuits (sirkuit terpadu)
Dalam perundang-undangan
tentang hak milik intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam
cakupan Intellectual Property Rights
tersebut belum ada diatur secara lengkap. Oleh karena itu masing-masing bidang
tersebut ditempelkan saja peraturannya dalam perundang-undangan yang sudah ada.
Sampai saat ini yang hanya
baru ada pengaturannya, yaitu tentang Hak Cipta yang diatur dalam Undang-Undang
No. 6 Tahun 1982 jo. UU No.7 Tahun 1987, tentang Merek diatur dalam UU No. 19
Tahun 1992, dan tentang Paten diatur dalam UU No.6 Tahun 1989.
Meskipun demikian dalam
waktu dekat, Indonesia akan menerbitkan beberapa peraturan baru tentang hak
kekayaan intelektual, disamping hak cipta, paten dan merek, yang saat ini
sedang diajukan rancangan undang-undang untuk merevisi undang-undang yang sudah
ada, juga diajukan rancangan undang-undang lainnya yakni, yang mengatur tentang
desain produksi industry, perlindungi variates baru tanaman, rahasia dagang dan
sirkuit terpadu (Integrated Citcuits).
Jika ketujuh RUU baru itu
disahkan menjadi undang-undang, maka dalam tatanan hokum yang mengatur tentang
hak kekayaan intelektual di Indonesia akan meliputi bidng-bidang sebagai
berikut:
1.
Hak Cipta
2.
Paten
3.
Merek
4.
Desain Produksi Industri
5.
Perlindungan Varietas Baru Tanaman
6.
Rahasia Dagang
7.
Sirkuit Terpadu (Integrated
Circuits).
Jika kita bandingkan dengan
ruang lingkup yang diatur dalam hak kekayaan intelektual yakni 14 bidang, maka
Indonesia masih harus menerbitkan peraturan-peraturan banyak yang mencakup
keseluruhan bidang hokum hak kekayaan inetektual. Namun demikian, khusus untuk
bidang yang tidak dikenal dalam hokum Indonesai (seperti Trade Names atau Commercial
Names) tidak perlu diprioritaskan. Akan tetapi peraturan untuk itu harus
juga dipersiapkan, mengingatkan peraturan bidang hak kekayaan intelektual ini,
mengandung implikasi global. Apalagi setelah isu hak kekayaan intelektual iini
dimasukkan dalam agenda GATT/WTO (1994) dan diletakkan di bawah satu dewan,
yakni Dewan TRIP’s.
Selain hak-hak yang disebut
di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum baru lagi yang patut juga
untuk dimasukkan ke dalam bagian hak kekayaan perindustrian, yaitu hak yang
terbit dari perjanjian franchising. Pengaturan
tentang hal ini di Indonesia samapai saat ini belum ada, namun hubungan hokum yang
berkenaan dengan bidang ini sudah berlangsung dalam praktek sehari-hari.
Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang
dilindungi seperti KFC, Pizza Hut atau merek yang melekat pada produk tersebut,
tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan resep dalam produk makanan dan
minuman tersebut beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasaran produk
tersebut. Ada benda immaterial yang menjadi obyek perjanjian dalam perikatan
tersebut. Benda immaterial itulah yang dimasudkan sebagai hak kekayaan
perindustrian dalam perikatan franchising
tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulisan, jika suatu saat nanti
Indonesia akan menciptakan peraturan perundang-undangan tentang franchising, seyogyanya figur hukum ini
haruslah ditempatkan dalam kerangka hokum benda, tepatnya dalam sistematika
benda tidak berwujud bersama-sama dengan hak kekayaan perindustrian lainnya.
Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.