Senin, 17 Maret 2014

BAB 2 HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

2.1       Pendahuluan

Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut tak diketahui ujung pangkalnya.

Namun demikian dalam kepustakan hokum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemungkinan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”,yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi hak kekayaan intelektual. Alasannya adalah kata “Hak Milik” sebenernya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hokum. Padahal tidak semua hak kekayaan intelektual itu meruapakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu.

2.2       Hukum Kekayaan Intelektual
Jika ditelusuri lebih jauh, hak milik intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hokum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu diantara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal itu dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh Hak Milik. Untuk pasal ini, kemudian Prof. Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi ibyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.

Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi, barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud (tidak bertubuh).

Benda immaterial yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak immaterial itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai obyeknya. Hak milik immaterial termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh karena itu hak milik immaterial itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda. Itulah yang disebut dengan nama hak kekayaan intelektual (intellectual property rights).

Kaya “hak milik” (baca juga: hak kekayaan) atau “property” yang digunakan dalam istilah tersebut di atas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Oleh karena kata harta benda/property menisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal hak kekayaan intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industry dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-ketiganya.

Keterangan Bouwman ini sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap usaha pencarian Prof. Mahadi yang dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual”.

Mungkin karena adanya unsure daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya, hingga kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan dalam bisang hak paten (hak kekayaan intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak kekayaan intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hokum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut,
1.      Hak Cipta (Copy Rights)
2.      Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights)

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.      Hak Cipta dan
2.      Hak yang berpadu-padan dengan hak cipta (Neighbouring Rights)

Istilah Neighbouring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hokum Indonesia. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menterjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta.

Penulis menggunakan istilah “hak yang berpadu-padan dengan Hak Cipta”, oleh karena kedua hak itu (Copy Rights maupun Neighbouring Rights) adalah dua hak yang semula bersatu (berpadu tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Neighbouring Rights, dalam hokum Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut Neighbouring Rights itu lahir dan adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa siaran adalah Neighbouring Rights.

Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiaran, yang pertama merupakan hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah Neighbouring Rights. Itulah alasannya, kami lebih cendrung merasakan menggunakan istilah hak berpadu-padan dengan hak cipta, untuk terjemahan istilah Neighbouring Rights. Kedua hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighbouring Rights selalu diikuti dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan ada tidaknya Neighbouring Rights.

2.3       Hukum Kekayaan Industri

Selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikan lagi menjadi:
1.      Patent (Paten)
2.      Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3.      Industrial Design (Desain Industri)
4.      Trade Merk (Merek Dagang)
5.      Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6.      Indication of Source or Appelation of Origin (Sumber tanda atau sebutan asal)

Pengelompokan hak kekayaan perindustrial seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literature, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari Negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping tersebut di atas ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga hak kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Patent
2.      Utility Models
3.      Industrial Secrets
4.      Trade Secrets
5.      Trade Marks
6.      Service Marks
7.      Trade Names or Commercial Names
8.      Appelations of Origin
9.      Indications of Origin
10.  Unfair Competition Protection

Berdasarkan kerangka WTO/TRIP’s ada dua bidang lagi yang perlu ditambangkan yakni:
1.      Perlindungan varietas baru tanaman, dan
2.      Integrated Circuits (sirkuit terpadu)

Dalam perundang-undangan tentang hak milik intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan Intellectual Property Rights tersebut belum ada diatur secara lengkap. Oleh karena itu masing-masing bidang tersebut ditempelkan saja peraturannya dalam perundang-undangan yang sudah ada.

Sampai saat ini yang hanya baru ada pengaturannya, yaitu tentang Hak Cipta yang diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 jo. UU No.7 Tahun 1987, tentang Merek diatur dalam UU No. 19 Tahun 1992, dan tentang Paten diatur dalam UU No.6 Tahun 1989.

Meskipun demikian dalam waktu dekat, Indonesia akan menerbitkan beberapa peraturan baru tentang hak kekayaan intelektual, disamping hak cipta, paten dan merek, yang saat ini sedang diajukan rancangan undang-undang untuk merevisi undang-undang yang sudah ada, juga diajukan rancangan undang-undang lainnya yakni, yang mengatur tentang desain produksi industry, perlindungi variates baru tanaman, rahasia dagang dan sirkuit terpadu (Integrated Citcuits).

Jika ketujuh RUU baru itu disahkan menjadi undang-undang, maka dalam tatanan hokum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual di Indonesia akan meliputi bidng-bidang sebagai berikut:
1.      Hak Cipta
2.      Paten
3.      Merek
4.      Desain Produksi Industri
5.      Perlindungan Varietas Baru Tanaman
6.      Rahasia Dagang
7.      Sirkuit Terpadu (Integrated Circuits).

Jika kita bandingkan dengan ruang lingkup yang diatur dalam hak kekayaan intelektual yakni 14 bidang, maka Indonesia masih harus menerbitkan peraturan-peraturan banyak yang mencakup keseluruhan bidang hokum hak kekayaan inetektual. Namun demikian, khusus untuk bidang yang tidak dikenal dalam hokum Indonesai (seperti Trade Names atau Commercial Names) tidak perlu diprioritaskan. Akan tetapi peraturan untuk itu harus juga dipersiapkan, mengingatkan peraturan bidang hak kekayaan intelektual ini, mengandung implikasi global. Apalagi setelah isu hak kekayaan intelektual iini dimasukkan dalam agenda GATT/WTO (1994) dan diletakkan di bawah satu dewan, yakni Dewan TRIP’s.

Selain hak-hak yang disebut di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum baru lagi yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian hak kekayaan perindustrian, yaitu hak yang terbit dari perjanjian franchising. Pengaturan tentang hal ini di Indonesia samapai saat ini belum ada, namun hubungan hokum yang berkenaan dengan bidang ini sudah berlangsung dalam praktek sehari-hari.


Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti KFC, Pizza Hut atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan resep dalam produk makanan dan minuman tersebut beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasaran produk tersebut. Ada benda immaterial yang menjadi obyek perjanjian dalam perikatan tersebut. Benda immaterial itulah yang dimasudkan sebagai hak kekayaan perindustrian dalam perikatan franchising tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulisan, jika suatu saat nanti Indonesia akan menciptakan peraturan perundang-undangan tentang franchising, seyogyanya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hokum benda, tepatnya dalam sistematika benda tidak berwujud bersama-sama dengan hak kekayaan perindustrian lainnya.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar