1.1 Pendahuluan
Sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, maka secara
ketatanegaraan terputuslah hubungan seluruh tata tertib hokum Indonesia dengan
tata tertib hukum Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu lahirlah Negara Indonesia
yang bebas penjajahan. Demikian pula dengan tata tertib hukumnya, dilandasi
oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk menyusun
tata tertib hokum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945,
membutuhkan waktu karena itu suasana setelah proklamasi dinyatakan sebagai
“masa peralihan”. Sadar akan hal ini, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945,
menempatkan dalam ketentuannya beberapa pasal aturan peralihan.
Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal yang terpenting. Pasal
tersebut menyebutkan bahwa, “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Ini berarti peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH
Dagang, KUH Pidana, AB, IS dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam
bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap
diberlakukan.
Setelah
mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan Perudang-undangan lainnya itu
dinyatakan dicabut. Sebagai contoh dapat dikemukakan Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai Bumi, Air, serta Kekayaan Alam
yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut
sepanjang menganai Perkawinan setelah keluar UU No. 1 Tahun 1974, tentang
Perkawinan, HIR dicabut setelah keluar UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa pengecualian.
Demikian juga
mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat diluar Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku
setelah keluarnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, tentang Hak Cipta.
Undang-Undang
yang disebut terakhir ini, menjalani banyak hambatan dalam pelaksanaannya.
Namun belum lagi selesai tantangan untuk menggantikan Hukum Kolonial dengan
Hukum Indonesia, timbul pula tantangan baru. Tantangan baru itu adalah UU
Produk Indonesia Merdeka yang semula dimaksudkan untuk menggantikan Hukum
Kolonial ternyata belum siap untuk menjawab problema hokum dalam masyarakat
Indonesia. Untuk kasus ini sebut saja misalnya UU No. 6 Tahun 1982 yang
merupakan produk hukum Negara Republik Indonesia yang baru saja berusia lima
tahun dengan berbagai pertimbangan, terpaksa harus direvisi. Hal ini disebabkan
ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan tuntutan hokum masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu dengan UU No. 7 Tahun 1987, UU No . 6 Tahun 1982 tersebut
kemudian diperbaharui.
Demikianlah
usaha-usaha pemerintah dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana
diisyaratkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP No. II/MPR/1983,
TAP MPR II/MPR/1988, dan TAP MPR II/MPR/1993 yang diupayakan untuk menuju
penyusunan kodifikasi hukum Nasional yang didasarkan kepada landasan sumber
tertib hukum yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
1.2 Definisi dan Istilah
Hukum Industri Pada Terbentuknya Jiwa Inovatif
Kodifikasi
Hukum Nasional yang dimaksud meliputi antara lain bidang Hukum Perdata dan
Hukum Dagang.
Pengaturan
tentang Hak Cipta adalah merupakan bidang Hukum Perdata yang termasuk dalam
bagian Hukum Benda. Khusus mengenai Hukum Benda di sana terdapat pengaturan
tentang Hak Kebendaan. Hak Kebendaan itu sendiri terdiri atas Hak Benda Materil
dan Immateril. Dalam tulisan ini kami hanya mengetengahkan tentang Hak Atas
Benda Immateril, yang dalam kepustakaan hokum sering disebut dengan istilah Hak
Milik Intelektual (Intellectual Property
Rights) yang teridiri dari Copy Rights
(Hak Cipta) dan Industrial Property Rights
(Hak Milik Industri). Hak Cipta adalah merupakan, hasil atau penemuan yang
merupakan kreativitas manusia di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Masalah Hak Cipta adalah masalah yang sangat luas, karena tidak menyangkut
hak-hak individu saja yang berada dalam lingkungan nasional, tetapi juga
menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu Negara yang untuk selanjutnya
bergumul dalam lingkungan Internasional.
Sama halnya
dengan Hak Cipta dalam hal perlindungan Hak Milik Industri yang terdiri dari
Hak Merek, Hak Paten, Hak Desain Produk Industri, dan lain-lain maka
perlindungannya juga menembus dinding-dinding Nasional.
Arti penting
perlindungan Hak Milik Intelektual ini menjadi lebih dari sekedar keharusan setelah
dicapainya kesepekatan GATT (General
Agreement on Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan
April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan
dunia yang dikenal dengan WTO (World
Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan pada bulan Januari 1995.
Dalam struktur lembaga WTO terdapat dewan umum (General Council) yang berada di bawah Dirjen WTO. Dewan umum ini
selanjutnya membawahi tiga dewan, yang salah satu di antaranya adalah dewan
TRIPs (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights).
TRIPs ini
dapat dikatakan sebagai isu baru dalam kancah perekonomian internasional.
Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed dimasukkannya TRIPs dalam kerangka
WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih
teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi.
Bagi Indonesia
dan Negara-negara Selatan, ini sudah tentu akan menimbulkan persoalan
tersendiri, yang cendrung menempatkan Negara-negara ini pada posisi yang sulit
untuk tidak dikatakan pada posisi yang tertindas. Oleh karenanya perhatian
khusus serta pemahaman tersendiri terhadap Hak Kekayaan Intelektual dalam
kerangka WTO menjadi sangat penting.
Ternyata
persoalan-persoalan diatas tidak pula berhenti sampai disitu saja. Era
globalisasi yang ditandai dengan kecendrungan Negara-negara di dunia membentuk
blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hokum
Hak Kekayaan Intelektual.
Masuknya
jenis-jenis makanan dari luar negeri seperti beberapa fast food restaurant yang
marak di Indonesia dikenal dengan bisnis Franchise.
Dalam bisnis Franchise ada Hak
Kekayaan Intelektual yang ditawarkan. Mulai dari Hak Cipta, Merek, dan Desain
Produk Industri (kemasan) samapai kepada Hak Paten.
Sayangnya
sampai saat ini, dalam tata hukum Indonesia figur hukum Franchise ini belum mendapatkan tempat yang pasti dalam kerangkan
sistem Hukum Perdata.
Beberapa
catatan dalam berbagai seminar mengenai Franchise
belum ada suatu pembahasan mengenai tempat Franchisee
dalam kerangka Hukum Benda. Padahal ada benda immateril yang ikut dialihkan
dalam perikatan antara Franchisor dengan
Franchisee.
Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar