Senin, 17 Maret 2014

BAB 1 PENDAHULUAN

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

1.1       Pendahuluan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, maka secara ketatanegaraan terputuslah hubungan seluruh tata tertib hokum Indonesia dengan tata tertib hukum Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu lahirlah Negara Indonesia yang bebas penjajahan. Demikian pula dengan tata tertib hukumnya, dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk menyusun tata tertib hokum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, membutuhkan waktu karena itu suasana setelah proklamasi dinyatakan sebagai “masa peralihan”. Sadar akan hal ini, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan dalam ketentuannya beberapa pasal aturan peralihan.

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal yang terpenting. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini berarti peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, AB, IS dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan.

Setelah mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan Perudang-undangan lainnya itu dinyatakan dicabut. Sebagai contoh dapat dikemukakan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai Bumi, Air, serta Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang menganai Perkawinan setelah keluar UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, HIR dicabut setelah keluar UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa pengecualian.

Demikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, tentang Hak Cipta.

Undang-Undang yang disebut terakhir ini, menjalani banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Namun belum lagi selesai tantangan untuk menggantikan Hukum Kolonial dengan Hukum Indonesia, timbul pula tantangan baru. Tantangan baru itu adalah UU Produk Indonesia Merdeka yang semula dimaksudkan untuk menggantikan Hukum Kolonial ternyata belum siap untuk menjawab problema hokum dalam masyarakat Indonesia. Untuk kasus ini sebut saja misalnya UU No. 6 Tahun 1982 yang merupakan produk hukum Negara Republik Indonesia yang baru saja berusia lima tahun dengan berbagai pertimbangan, terpaksa harus direvisi. Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan tuntutan hokum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu dengan UU No. 7 Tahun 1987, UU No . 6 Tahun 1982 tersebut kemudian diperbaharui.

Demikianlah usaha-usaha pemerintah dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP No. II/MPR/1983, TAP MPR II/MPR/1988, dan TAP MPR II/MPR/1993 yang diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum Nasional yang didasarkan kepada landasan sumber tertib hukum yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

1.2       Definisi dan Istilah Hukum Industri Pada Terbentuknya Jiwa Inovatif

Kodifikasi Hukum Nasional yang dimaksud meliputi antara lain bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.

Pengaturan tentang Hak Cipta adalah merupakan bidang Hukum Perdata yang termasuk dalam bagian Hukum Benda. Khusus mengenai Hukum Benda di sana terdapat pengaturan tentang Hak Kebendaan. Hak Kebendaan itu sendiri terdiri atas Hak Benda Materil dan Immateril. Dalam tulisan ini kami hanya mengetengahkan tentang Hak Atas Benda Immateril, yang dalam kepustakaan hokum sering disebut dengan istilah Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights) yang teridiri dari Copy Rights (Hak Cipta) dan Industrial Property Rights (Hak Milik Industri). Hak Cipta adalah merupakan, hasil atau penemuan yang merupakan kreativitas manusia di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Masalah Hak Cipta adalah masalah yang sangat luas, karena tidak menyangkut hak-hak individu saja yang berada dalam lingkungan nasional, tetapi juga menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu Negara yang untuk selanjutnya bergumul dalam lingkungan Internasional.

Sama halnya dengan Hak Cipta dalam hal perlindungan Hak Milik Industri yang terdiri dari Hak Merek, Hak Paten, Hak Desain Produk Industri, dan lain-lain maka perlindungannya juga menembus dinding-dinding Nasional.

Arti penting perlindungan Hak Milik Intelektual ini menjadi lebih dari sekedar keharusan setelah dicapainya kesepekatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan pada bulan Januari 1995. Dalam struktur lembaga WTO terdapat dewan umum (General Council) yang berada di bawah Dirjen WTO. Dewan umum ini selanjutnya membawahi tiga dewan, yang salah satu di antaranya adalah dewan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

TRIPs ini dapat dikatakan sebagai isu baru dalam kancah perekonomian internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Bagi Indonesia dan Negara-negara Selatan, ini sudah tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri, yang cendrung menempatkan Negara-negara ini pada posisi yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi yang tertindas. Oleh karenanya perhatian khusus serta pemahaman tersendiri terhadap Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka WTO menjadi sangat penting.

Ternyata persoalan-persoalan diatas tidak pula berhenti sampai disitu saja. Era globalisasi yang ditandai dengan kecendrungan Negara-negara di dunia membentuk blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hokum Hak Kekayaan Intelektual.

Masuknya jenis-jenis makanan dari luar negeri seperti beberapa fast food restaurant yang marak di Indonesia dikenal dengan bisnis Franchise. Dalam bisnis Franchise ada Hak Kekayaan Intelektual yang ditawarkan. Mulai dari Hak Cipta, Merek, dan Desain Produk Industri (kemasan) samapai kepada Hak Paten.

Sayangnya sampai saat ini, dalam tata hukum Indonesia figur hukum Franchise ini belum mendapatkan tempat yang pasti dalam kerangkan sistem Hukum Perdata.


Beberapa catatan dalam berbagai seminar mengenai Franchise belum ada suatu pembahasan mengenai tempat Franchisee dalam kerangka Hukum Benda. Padahal ada benda immateril yang ikut dialihkan dalam perikatan antara Franchisor dengan Franchisee.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar