Jumat, 01 Januari 2016

ADA SUATU KEBUTUHAN

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

Apakah sekolah menyiapkan anak-anak kita untuk menghadapi dunia yang riil? “Belajarlah yang giat dan raihlah angka yang baik, dan kamu akan mendapatkan pekerjaan yang berupah tinggi dengan tunjangan dan keuntungan yang besar,”, begitu kata orang tua saya dulu. Tujuan hidup mereka dahulu adalah agar kakak perempuan saya dan saya bisa kuliah di perguruan tinggi, sehingga kami akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk berhasil dalam hidup kami. Ketika akhirnya saya meraih gelar diploma saya pada 1976-lulus dengan predikat tinggi, dan nyaris yang teratas dikelas saya, dalam bidang akuntansi dari Florida State University-orangtua saya menyadari tujuan mereka. Menurut “Rencana Tuhan”, saya dipekerjakan oleh perusahaan akuntansi “Big 8”, dan saya mengharapkan karier panjang dan pesiun di usia muda.
Suami saya, Michael, mengikuti jalan yang serupa. Kami berdua berasal dari keluarga pekerja keras, kekayaan pas-pasan, tetapi dengan etika kerja yang kuat. Michael juga lulus dengan predikat tinggi, dan ia melakukannya dua kali: pertama sebagai insinyur dan kemudian dari sekolah hukum. Dengan cepat ia direkrut oleh sebuah biro hukum Washington D.C. bergengsi yang bergerak khusus dalam hukum paten, dan masa depannya tampak cerah, jalur kariernya dirancang baik, dan dijamin bisa pensiun muda.
Meskipun kami sukses dalam karier kami, hal itu tidaklah memberikan hasil seperti yang kami harapkan. Kami berdua telah berganti posisi beberapa kali-karena alasan-alasan yang tepat-tetapi tidak ada rencana pensiun yang dibuat demi kepentingan kami. Dana pensiunan kami tumbuh hanya berdasarkan konstribusi individual kami.
Pernikahan saya dan Michael sungguh luar biasa dan kami dianugerahi tiga anak yang hebat-hebat. Ketika saya menulis buku ini, dua anak kami masih kuliah dan satu baru masuk SMA. Kami menghabiskan uang untuk memastikan anak-anak bisa memperoleh pendidikan sebaik mungkin.
Suatu hari pada tahun 1996, salah satu anak saya pulang ke rumah dengan penuh rasa kecewa terhadap sekolah. Dia bosan dan capai belaja, “Mengapa saya harus menghabiskan waktu untuk mempelajari hal-hal yang tidak akan pernah saya gunakan dalam kehiduan riil?” katanya protes.
Tanpa pikir panjang, saya langsung menjawab, “ Karena bila kamu tidak memperoleh ranking yang baik, kamu tidak akan bisa diterima di universitas.”
“Tak peduli apakah saya akan kuliah di perguruan tinggi atau tidak,” jawabnya, “saya akan kaya”.
“Jika kamu tidak lulus dari perguruan tinggi, kamu tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik,” jawa bsaya degan nada panik dan sikap peduli yang keibuan. “Dan jika kamu tidak mempunyai pekerjaan yang baik, bagaimana kamu merencanakan untuk menjadi orang kaya?”
Putra saya menyeringai dan perlahan-lahan menundukkan kepalanya dengan ogah-ogahan. Kami sudah membicarakan hal ini banyak kali. Ia merendahkan kepalanya dan memuar-mutar matanya. Kata-kata kebijaksanaan saya yang keibuan sekali lagi masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Meskipun cerdas dan berkemauan kuat, ia selalu merupakan pemuda yang ramah dan penuh hormat.
“Bu,” ia mulai. Giliran saya yang “dikuliahi”. “Ikutlah perkembangan zaman! Lihatlah sekeliling Ibu. Saya kira Ibu juga tahu bahwa banyak orang yang sangat kaya tidak memperoleh kekayaan mereka karena pendidikan mereka. Lihatlah Michael Jordan dan Madonna. Bahkan Billl Gates, yang dropped out dari Harvard University, telah mendirikan Microsoft; sekarang ia merupakan orang terkaya di Amerika, padahl umurnya baru 30-an. Ada orang pitcer bisbol yang menghasilkan lebih dari 4 juta dollar setahun sekalipun ia telah dicap ‘diragukan secara mental’”.
Kesunyian yang panjang menyelimuti kami. Saya tidak pernah menduga bahwa saya memberi anak saya nasihat yang sama dulu diberikan orangtua saya kepada saya. Dunia sekitar kita telah berubah, bahkan sangat cepat, tetapi nasihat yang kita berikan tidak atau belum berubah.
Memperoleh pendidikan yang baik dan meraih ranking yang baik tidak lagi menjamin kesuksesan, dan tak seorang pun tampak memperhatikan hal itu, kecuali anak-anak kita.
“Bu,” lanjutnya, “Saya tidak ingin bekerja sama kerasnya seperti yang Ibu dan Ayah lakukan. Ibu menghsilkan banyak uang, dan kita tinggal dalam rumah yang sangat besar dengn begitu banyak mainan. Jika saya menuruti nasihat Ibu, nasib saya pun akan berakhir seperti Ibu: bekerja keras dan makin keras hanya untuk membayar pajak yang lebih besar dan akhirnya hidup dalam hutang. Tidak ada keamanan kerja lagi; saya tahu tetang segala ukuran yang kurang dan ukuran yang tepat. Saya juga tahu bahwa lulusan universitas sekarang memperoleh penghasilan lebih sedikit daripada yang Ibu peroleh ketika Ibu baru lulus. Lihatlah para dokter. Mereka tidak menghasilkan uang sebanyak dulu. Saya tahu saya tidak dapat bersandar pada jaminan sosial atau perusahaan dana pensiun bila keluar dari tempat kerja. Saya membutuhkan jawaban-jawaban baru”.
Ia benar, ia membutuhkan jawaban-jawaban baru, demikian pula saya. Nasihat orangtua saya mungkin berhasil untuk orang-orang yang lahir sebelum tahun 1945, tetapi nasihat itu mungkin bisa menjadi bencana bagi kita yang lahir dalam dunia yang berubh dengan sagat cepat. Saya tidak bisa lagi hanya mengatakan kepada anak-anak saya, “Pergilah ke sekolah, raihlah nilai yang baik, dan carilah pekerjaan yang aman dan terjamin.”
Saya tahu saya harus mencari cara-cara baru untuk membimbing pendidikan anak-anak saya.
Sebagai seorang Ibu dan sekaligus seorang akuntan, saya prihatin dengan kurangnya pendidikan finansial yang diterima anak-anak kita di sekolah. Banyak dari anak-anak muda zaman sekarang ini mempunyai kartu kredit sebelum mereka lulus SMA, namun mereka tidak pernah mendapat kursus tentang uang atau bagaimana menginvestasikannya, apalagi tentang bagaimana cara kerjanya suku bunga kartu kredit yang berlipat ganda ini. Singkat kata, tanpa melek finansial dan pengetahuan tentang bagaimana cara uang bekerja, mereka tidak disiapkan untuk menghadapi dunia yang sedang menantikan mereka, sebuah dunia dimana pengeluaran lebih ditekankan daripada penabungan.
Ketika sebagai mahasiswa tingkat pertama anak tertua saya akhirnya terjerat hutang karena kartu-kartu kreditnya, saya tidak hanya membantunya untuk menghancurkan kartu-kartu kredit itu, tetapi saya juga pergi mencari sebuah program yang akan membantu saya mendidik anak-anak saya dalam masalah-masalah finansial.
Suatu hari di tahun lalu, suami saya menelepon dai kantornya, “Saya mendapatkan seseorang yang saya pikir harus kamu temui,” katanya. Namanya Robert Kiyosaki. Ia seorang usahawan dan investor, dan dia ada disini untuk mengajukan hak paten atas produk pendidikan. Saya kira inilah yang selama ini kamu cari.”

Sumber:

Kiyosaki, Robert T. 1998. Rich Dad, Poor Dad. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar