Sabtu, 02 Januari 2016

AYAH YANG KAYA, AYAH YANG MISKIN PART 2

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

Karena saya mempunyai dua ayah yang berpengaruh, saya belajar dari mereka berdua. Saya harus memikirkan nasihat masing-masing ayah, dan dalam melakukan ini, saya memperoleh wawasan berharga tentang kekuatan dan pengaruh pikiran sesorang pada hidupnya. Misalnya, ayah yang satu mempunyai kebiasaan mengatakan. “Saya tidak mampu membelinya.” Ayah yang lain melarang penggunaan perkataan seperti itu. Dia mendesak saya untuk berkata. “Bagaimana saya bisa membelinya?” Yang satu adalah pernyataan dan yang satunya lagi adalah pertanyaan. Yang satu melepaskan anda dari kesulitan, yang satunya lagi memaksa anda untuk berpikir. Ayah saya yang-segera-menjadi-kaya akan menjelaskan bahwa secara otomatis mengucapkan perkataan, “Saya tidak bisa membelinya,” otak anda berhenti bekerja. Sebaliknya, dengan mengajukan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa membelinya?” maka otak anda harus bekerja. Yang dia maksudkan bukanlah membeli segala sesuatu yang anda inginkan. Dia fanatik dalam hal melatih pikiran anda, komputer paling hebat di dunia. “Otak saya semakin kuat setiap harinya karena saya melatihnya. Semakin kuat otak saya, semakin banyak uang yang saya hasilkan.” Dia percaya bahwa selalu mengatakan. “Saya tidak bisa membelinya” adalah sebuah tanda kemalasan.
Meskipun kedua ayah saya bekerja keras, saya memperhatikan ayah yang satu mempunyai kebiasaan menidurkan otaknya bila sampai pada urusan uang, sementara yang satunya mempunyai kebiasaan melatih otaknya. Hasil jangka panjangnya adalah bahwa ayah yang sama tumbuh lebih kuat secara finansial dan yang satunya lebih lemah. Ini tidak jauh berbeda dengan orang yang pergi ke pusat kebugaran untuk berolahraga secara rutin versus seseorang yang setiap hari duduk di sofa menonton tv. Latihan fisik yang pas dan cocok meningkatkan peluang kesehatan anda, dan latihan mental yang pas dan cocok meningkatkan peluang kemakmuran anda. Kemalasan menurunkan baik kesehatan maupun kemakmuran.
Kedua ayah saya mempunyai sikap yang bertentangan dalam cara berfikir. Ayah yang satu berpikir bahwa yang kaya harus membayar pajak lebih banyak untuk membantu dan memelihara mereka yang kurang beruntung. Satunya lagi berkata, “Pajak menghukum mereka yang berproduksi dan menghadiahi mereka yang tidak berproduksi.”ayah yang satu merekomendasikan, “Belajarlah yang giat sehingga kamu dapat menemukan sebuah perusahaan yang baik untuk bekerja.” Satunya lagi merekomendasikan, “Belajarlah yang giat sehingga kamu menemukan perusahaan yang baik untuk kamu beli.”
Yang satu mangatakan. “Alasan saya tidak kaya adalah karen saya mempunyai kamu, nak.” Satunya lagi mengatakan, “Alasan saya harus kaya adalah karena saya mempunyai kamu, nak.”
Yang satu mendorong untuk membicarakan soal uang dan bisnis di meja makan. Satunya lagi melarang keras untuk membicarakan masalah uang saat makan.
Yang satu berkata, ”Bila sampai pada urusan uang, bermainlah dengan aman, jangan mengambil resiko.” Satunya lagi mengatakan, “Belajarlah mengelola resiko.”
Yang satu percaya, “Rumah kita adalah investasi terbesar kita dan juga aset kita yang terbesar.” Satunya lagi percaya, “Rumah saya adalah liabilitas (kewajiban), dan jika rumahmu adalah aset terbesar, kamu akan mendapat masalah.”
Kedua ayah saya membayar rekening pada waktunya, tetapi yang satu membayar rekeningnya duluan (sebagai hal yang pertama) sementara yang satunya lagi membayar rekeningnya belakangan.
Yang satu percaya bahwa perusahaan atau pemerintah akan mengurus anda dan kebutuhan anda. Dia selalu peduli dengan kenaikan upah, program pensiun, tunjangan kesehatan, cuti sakit, hari libur, dan berbagai perbaikan lainnya. Dia terkesan dengn dua pamannya yang bergabung dengan militer dan memperoleh tunjangan pensiun dan berbagai keuntungan lainnya. Terkadang, gagasan perlindungan kerja untuk kehidupan dan keuntungan kerja tampak lebih penting daripada pekerjaan itu sendiri.
Satunya lagi percaya pada sikap mandiri penuh dalam soal finansial. Dia dengan lantang menentang mentalitas “berhak” dan bagaimana hal itu menciptakan orang yang lemah dan sangat miskin secara finansial. Dia sangat tegas dalam menjadi kompeten secara finansial.
Ayah yang satu berjuang keras untuk menabung beberapa dolar. Sedangkan satunya lagi sibuk menciptakan investasi.
Ayah yang satu mengajarkan saya bagaimana menulis resume yang mengesankan sehingga saya bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Satunya lagi mengajar saya bagaimana menulis rencana bisnis dan finansial yang kuat sehingga saya bisa menciptakan pekerjaan bagi orang lain.
Menjadi produk dua ayah yang kuat dan berpengaruh memberi saya kesempatan mewah untuk mengamati pengaruh pikiran yang berbeda pada hidup seseorang. Saya memperhatikan bahwa orang sungguh-ssungguh membentuk hidup mereka melalui pikiran mereka.
Contohnya, ayah saya yang miskin selalu berkata, “Saya tidak akan pernah kaya.” Dan ramalan itu menjadi kenyataan. Ayah saya yang kaya, sebaliknya, selalu menunjuk dirinya sebagai orang yang kaya. Dia akan mengatakan hal-hal seperti ini. “Saya orang yang kaya, dan orang kaya tidak melakukan hal ini.” Bahkan ketika dia benar-benar bangkrut setelah menderita kemerosotan finansial yang hebat, dia terus menunjuk dirinya sebagai orang yang kaya. Dia akan menutupi dirinya dengan mengatakan, “Ada perbedaan antara menjadi miskin dan menjadi bangkrut. Bangkrut adalah untuk sementara waktu, dan miskin adalah untuk selamanya.”
Ayah saya yang minskin juga akan mengatakan, “Saya tidak tertarik pada uang,” atau “Uang tidak penting.” Ayah saya yang kaya selalu mengatakan.” Uang adalah kekuatan, kekuasaan.”
Jadi kekuatan pikiran kita mungkin tidak pernah diukur atau dihargai, tetapi menjadi jelas bagi saya bocah yang masih muda untuk menyadari pikiran saya dan bagaimana saya mengekspresikan diri saya. Saya memperhatikan bahwa ayah saya yang miskin adalah miskin bukan karena jumlah uang yang dia hasilkan, yang sebenarnya besar, tetapi karena pikiran dan tindakannya. Sebagai anak muda, dan memupunyai dua ayah, saya menjadi benar-benar sadar untuk berhati-hati memilih pikiran-pikiran mana yang akan saya ambil sebagai pikiran saya sendiri. Siapa yang harus saya dengarkan-ayah saya yang kaya atau ayah saya yang miskin?
Meskipun kedua pria itu mempunyai respek yang sangat tinggi terhadap pendidikan dan pembelajaran, mereka tidak sepakat dalam apa yang mereka pikir penting untuk dipelajari.
Yang satu menginginkan saya belajar keras, memperoleh gelar, dan mendapat pekerjaan baik untuk menghasilkan uang. Dia menginginkan saya untuk belajar menjadi seorang profesional, seorang pengacara, atau akuntan atau ke sekolah bisnis untuk mendapat gelar MBA. Satunya lagi mendorong saya untuk belajar menjadi kaya, untuk memahami bagaimana uang bekerja, dan belajar bagaimana membuat uang bekerja untuk saya. “Saya tidak bekerja untuk uang!” adalah perkataan yang dia ulang berkali-kali, “Uang bekerja untuk saya!”
Pada umur 9 tahun, saya memutuskan untuk mendengarkan dan belajar dari ayah saya yang kaya mengenai soal uang. Karena itu, saya memilih untuk tidak mendengarkan ayah saya yang miskin, sekalipun dia memiliki semua gelar universitas.

Sumber:

Kiyosaki, Robert T. 1998. Rich Dad, Poor Dad. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar