Minggu, 11 Mei 2014

BAB 7 KONVENSI INTERNASIONAL

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id


Perlindungan hak cipta secara domestic saja tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta. Karena suatu upaya untuk mendorong kemajuan dibidang karya cipta ini tentu sangat berarti jika perlindungan itu dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hokum yang diharapkan itu benar-benar mereka (si pencipta) peroleh.
Oleh karena itu perlindungan hak cipta secara internasional tidak dapat ditunda-tunda. Untuk perlindungan hak cpta secara internasional saat ini ada dua konvensi internasional yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention.

7.1       Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta
Konevsi internasional adalah perjanjian internasional. Mengenal perjanjian internasional sangat banyak kita temui peristilahannya. Istilah yang sering digunakan adalah treaty (traktat), pact (pakta); convention (konvensi), charter, declaration, protocol, arrangement, accord, modus Vivendi, convenant dan lain-lain. Mochtar memberi definisi bahwa “perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hokum tertentu”
Oleh Edy Suryono ditegaskan bahwa dalam perjanjian internasional yang penting adalah kehendak negara untuk diikat dalam perjanjian itu. Satu hal yang penting adalah bahaw suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga. Persetujuan itu harus diberikan secar tertulis serta hak dan kewajiban pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian itu. Setelah memenuhi syarat yang demikian, barulah ia sempurna dan untuk selanjutnya mengikat pihak ketiga tersebut secara sah.
Untuk keadaan seperti ini dalam teori mengenai perjanjian internasional diebutkan sebagai treaty contract, yaitu menimbulkan hokum bagi para peserta, sedangkan yang berikutnya adalah “law making treaty” yaitu secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah bagi semua masyarakat internasional dan tidak hanya bagi pihak-pihak peserta.
Sebenarnya perbedaan antara keduanya tidak begitu mendasar. Jika ditinjau secara juridis menurut bentuknya setiap perjanjian internasional baik law making treaty maupun treaty contract adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakan dan akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi para peserta.
Selanjutnya mengenai istilah konvensi untuk perjanjian internasional adalah merupakan istilah yang paling popular. Konvensi sering digunakan untuk jenis perjanjian multiteral, daripada bilateral. Dalam hal ini dapat kita kemukakan contoh seperti, Konvensi Hukum Laut, Konvensi Wina, Konvensi Bern,dll.
Selanjutnya prosedur pembentukan konvensi ini pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing negara sesuai dengan ketentuan konstitusi negaranya.
Oleh Mochtar disebutkan tahapan-tahapan tertentu yang harus dilakukan dalam pembuatan perjanjian internasional yaitu:
1.      Perundingan (negotiation)
2.      Penandatanganan (signatur)
3.      Pengesahan (ratification)
Selanjutnya mengenai hal ini, berdasarkan Konvensi Wina 1969, menurut rangkaian pasal-pasalnya telah pula memuat rangkaian tertentu tentang tahapan yang harus dilalui untuk membuat perjanjian internasional. Pola tahapan itu menurut Ny. Mieke Komar, sebagaimana dikutip oleh Syahmin AK, yaitu:
1.      Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian atau nama negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan full powers tersebut.
2.      Harus melalui tahapan perundingan dan perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahaan naskah perjanjian
3.      Harus dinyatakan secara tegas tentang cara suatu negara dapat menyatakan persetujuan (consent)-nya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian yakni dengan penandatanganan (signature), pertukaran instruments ratifikasi, pernyataan ikut serta (accession), misalnya.
4.      Harus ditentukan perihal waktu antara penandatanganan dan mulai berlakunya perjanjian.
Selanjutnya mengenai prosedur ratifikasi tergantung pula pada konstitusi masing-masing negara. Untuk Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dan membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dari ketentuan ini untuk Indonesia , prosedur ratifikasi itu dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Selain dasar hokum nasional ada lagi dasar hokum internasional mengenai prosedur ratifikasi ini yaitu yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties pada Pasal 43 Sub 3 Piagam PBB.
Vienna Convention dalam pasala 11 menyatakan:
The consent of a state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession or by any other means it so agred.
Selanjutnya Pasal 43 Sub 3 Piagam PBB berbunyi:
            The agreement or agreements shall be negotiated as soon as possible on the initiative of the security council. They shall be concluded between the security council and groups of members and shall be subject to ratification by the signature state in accord dance with their respective constitutional proceses.
            Selain itu dasar hokum internasional dalam hal ratifikasi selain terdapat dalam konvensi juga dapat dijumpai perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral.
Ratifikasi ini penting artinya bagi perjanjian internasional. Menurut hokum internasional bahwa perjanjian internasional itu harus disahkan oleh tiap-tiap negara yang turut serta dalam  tersebut, agar ia mengikat.
Menurut Ali Sastroamidjojo bahwa, perjanjian internasional itu sudah dianggap sah jika persetujuan timbale balik (mutual consent) oleh semua pihak yang membuat perjanjian itu telah dinyatakan secara konkrit.
Persetujuan timbal balik itu ada apabila masing-masing pihak dalam perjanjian itu telah meratifikasi.
Konvensi Wina 1969 merumuskan ratifikasi sebagai berikut:
Ratification mean in each case the international act so named where by a state establishes on the international plane its consent to be bound by atreaty.
 Ratifikasi dalam artian ini adalah merupakan suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk diikat dalam suatu perjanjian.
Jika demikian halnya, maka sesungguhnya ratifikasi itu mempunyai tujuan tertentu. Dengan ratifikasi itu berarti memberikan kekuatan mengikat agar dengan demikian perjanjian tersebut berlaku bagi negara-negara penandatanganan secara sah.
Vienna Convention 1969 menyatakan bahwa, Consent to be bound a  treaty expressed by ratification, acceptance or approval.
Maka dengan pemberian ratifikasi tersebut berarti suatu negara yang bersangkutan telah menyatakan persetujuannya untuk mengikat dirinya pada suatu perjanjian. Sebaliknya apabila ratifikasi tersebut ditolak maka perjanjian itu dihapus sama sekali, meskipun sebelulmnya telah ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang bersangkutan.
Secara juridis, perjanjian internasional itu akan menerbitkan hak-hak dan kewajiban bagi negara peserta. Maka apabila persetujuan telah tercapai timbullah hak-hak dan kewajiban bagi para negara peserta yang telah mengikatkan dirinya. Hak yang ada pada kita menimbulkan pula kewajiban kepada orang lain untuk menghormatinya, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari perjanjian internasional adalah untuk melindungi atau memberikan kepastan atas hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada semua negara peserta.
Kesimpulan tersebut jika dikaitkan dengan konvensi internasional tentang hak cipta, maka akan diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara internasional.
Secara teoritis, subjek hokum internasional sebenarnya hanyalah negara-negara, dan dimana perjanjian internasional seperti Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1941 memberikan hak-hak dan kewajiban tertentu, maka hak-hak dan kewajiban itu diberikan konvensi secara tidak langsung kepada perorangan atau individu melalui negaranya yang menjadi peserta konvensi. Pada akhirnya individulah yang menjadi tujuan perlindungan diadakannya konvensi internasional tentang hak cipta ini.

7.2       Berner Convention
            Konvensi Bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1986 dan telah berulang kali mengalami revisi serta penyempurnaan.
Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1986, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13 November 1908. Kemudian mengalami penyempurnaan di Bern pada tanggal 24 Maret 1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1928 dan di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948 , di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.
Sampai pada tahun 1971 keanggotaan Konvensi Bern berjumlah 45 negara. Mengenai rumusan pengertian hak cipta menurut Konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirumuskan oleh Austeurswet 1912.
Yang menjadi objek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah, dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun, demikian yang dapat diungkap dari rumusan Pasal 2 Konvensi Bern.
Dari Pasal 3 dapat disimpulkan bahwa disamping karya-karya asli, dilindungi juga karya-karya yang termasuk terjemahan, saduran, aransemen music, produksi lain berbentuk saduran dari suatu karya sastra atau seni, termasuk karya photograpis. Satu hal yang penting dalam Konvensi Bern adalah mengenai perlindungan yang diberikannya terhadap pencipta atau pemegang hak.
Pasal 5 (setelah direvisi di Paris tahun 1971) adalah merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini para pencipta akan mendapatkan perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Dengan kata lain para pencipta yang merupakan warga negara dari salah satu negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh perlindungan di negara-negara yang tergabung dalam union.
Pasal 5 Konvensi Bern berbunyi:
Author shall enjoy in respect of work to which they are protected under this convention, in countries of the union other that the country of origin, the right which their respective laws do now or may here after grant to their national as well as the right specially granted by this convention.
Sudargo Gautama mengatakan perlindungan menurut pasal ini adalah terutama perlindungan dari orang-orang asing untuk karya mereka dalam negar-negara lain daripada negara dimana mereka melakukan penerbitan pertama karya mereka. Pencipta diberikan perlindungan dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidak perlindungan yang diberikan oleh negara asalnya. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa pencipta yang bergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak dalam luas dan bekerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung perundang-undangnya terhadap warga negara sendiri.  Jadi, warga negara  dan warga asing diberikan perlindungan yang sama.
Konvensi Bern telah mengalami revisi dan penyempurnaan. Penyempurnaan yang penting artinya khusus bagi negara dunia ketiga adalah dengan dimuatnya protocol (merupakan tambahan atau supplement dari suatu perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967.
Kemudian protocol ini telah diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri dalam konvensi ini. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 21 dari teks Konvensi Bern yang terjemahannya berbunyi, “Ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan negara berkembang dimasukkan dalam appendix tersendiri.
Dengan adanya protocol Stockholm ini maka negara-negara berkemabang mendapatkan pengecualian atau reserve yang berkenaan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Pengecualian ini hanya berlaku untuk negara yang melakukan ratifikasi dari protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural.
Pengecualian dapat dilakukan mengai hal yang berkenaan dengan hak melakukan terjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutio dari artikel-artikel dari berta pers, hak untuk melakukan siaran radio dan perlindungan dari karya sastra dan seni untuk tujuan pendidikan, ilmiah, atau sekolah.
Pasal II Protokol Stockholm mencantumkan kemungkinan untuk memperolaeh lisensi (izin) secara paksa untuk menerjemahkan karya-karya kuar negeri. Selain itu juga memuat ketentuan pembatasan jangka waktu perlindungan hak cipta. Ketentuan yang diterima 50 tahun dalam Konvensi Bern (Pasal 7), untuk negara berkembang dengan Protokol Stockholm dikurangi menjadi 25 tahun setelah meninggalnya si pencipta.

7.3       Universal Copyright Convention (UCC)
Universal Copyright Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1992 dan baru mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini juga mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris. Konvensi ini terdiri dari 21 Pasal dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang pelarian.
Hal ini dapat dimengerti karena secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan atau orang-orang pelarian perlu dilindungi. Salah satu tujuan perlindungan hak cipta itu dapat tercapai yaitu untuk mendorong kreativitas dan aktivitas para pencipta tidak terkecuali orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan amupun orang-orang pelarian. Dengan dilindunginya hak ciptanya mereka mendapatkan kepastian hokum.
Protocol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya dari organisasi internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Ini lah yang menjadi dasar konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO, oleh sebab itu dalam protocol ini diatur secara khusus perlindungan karya dari badan organisasi internasional.
Protocol III mengenai tentang cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan bersyarat.
Universal Copyright Convention, dalam Pasal V menyebutkan pengertian hak cipta. Menurut pasal ini hak cipta meliputi hak tunggal pencipta untuk membuat, menerbitkan, dan memberi kuasa untuk menerbitkan dan membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.
Pasal IV bis menyebutkan jika yang dianggap sebagai hak cipta adalah karya dalam bentuk asli maupun terjemahannya. Khusus mengenai terjemahan, hak untuk melakukan terjemahan pertama-tama diberikan dari pihak pencipta. Namun pasal ini juga menentukan bahwa setiap negara peserta dapat menetapkan dalam perundangan nasionalnya sendiri mengenai pembatasan hak terjemahan.
Pasal IV menentukan pembatasan jangka waktu hak cipta yaitu selama hidup pencipta dan selama 25 tahun setelah meninggalnya pencipta.
Pasal V ayat 2, pasal V ter dan pasal V bis mengatur tentang lisensi paksa dalam hal terjemahan. Jika dikaitkan antara Pasal IV, Pasal IV bis, Pasal V, Pasal V bis, Pasal V ter, bahwa Universal Copyright Convention ini memberikan batasan terhadap hak monopoli pencipta. Artinya kepada seorang pencipta hasil suatu karya sebanyak mungkin digunakan untuk kepentingan umum, jadi tidak untuk kepentingan pribadi semata-mata.
Dalam hal ini banyak yang diperhatikan untuk kepentingan negara berkembang. Itu sebabnya Pasal V ter memberikan batasan tertentu terhadap ha pencipta asli untuk terjemahan yang diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan.
Jika dibandingkan antara Konvensi Bern dan Universal Copyright Convention, perbedaannya terletak pada dasar falsafah yang dianutnya. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.
Sedangkan Universal Copryright Convention menganggap bahwa hak cipta timbul karena adanya ketentuan yang memberikan hak tsb kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak tersebut.
UHC 1982 diperbarui dengan UHC 1987, dimana hak cipta dilahirkan oleh undang-undang. Pembatasan-pembatasan tertentu antara lain menyebutkan bahwa hak cipta itu berfungsi social.




Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar