Perlindungan hak cipta
secara domestic saja tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi
menumbuhkan kreativitas para pencipta. Karena suatu upaya untuk mendorong
kemajuan dibidang karya cipta ini tentu sangat berarti jika perlindungan itu
dijamin disetiap saat dan tempat, sehingga kepastian hokum yang diharapkan itu
benar-benar mereka (si pencipta) peroleh.
Oleh karena itu
perlindungan hak cipta secara internasional tidak dapat ditunda-tunda. Untuk
perlindungan hak cpta secara internasional saat ini ada dua konvensi
internasional yaitu Berner Convention dan Universal Copyright Convention.
7.1 Konvensi Internasional Tentang Hak Cipta
Konevsi internasional
adalah perjanjian internasional. Mengenal perjanjian internasional sangat
banyak kita temui peristilahannya. Istilah yang sering digunakan adalah treaty
(traktat), pact (pakta); convention (konvensi), charter, declaration, protocol,
arrangement, accord, modus Vivendi, convenant dan lain-lain. Mochtar memberi
definisi bahwa “perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan
antaranggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan
akibat-akibat hokum tertentu”
Oleh Edy Suryono
ditegaskan bahwa dalam perjanjian internasional yang penting adalah kehendak
negara untuk diikat dalam perjanjian itu. Satu hal yang penting adalah bahaw
suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga. Persetujuan itu harus diberikan secar
tertulis serta hak dan kewajiban pihak ketiga tersebut harus dinyatakan dengan
tegas dalam perjanjian itu. Setelah memenuhi syarat yang demikian, barulah ia
sempurna dan untuk selanjutnya mengikat pihak ketiga tersebut secara sah.
Untuk keadaan seperti
ini dalam teori mengenai perjanjian internasional diebutkan sebagai treaty
contract, yaitu menimbulkan hokum bagi para peserta, sedangkan yang berikutnya
adalah “law making treaty” yaitu secara langsung menimbulkan kaidah-kaidah bagi
semua masyarakat internasional dan tidak hanya bagi pihak-pihak peserta.
Sebenarnya perbedaan
antara keduanya tidak begitu mendasar. Jika ditinjau secara juridis menurut
bentuknya setiap perjanjian internasional baik law making treaty maupun treaty
contract adalah suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang
mengadakan dan akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi para
peserta.
Selanjutnya mengenai
istilah konvensi untuk perjanjian internasional adalah merupakan istilah yang
paling popular. Konvensi sering digunakan untuk jenis perjanjian multiteral,
daripada bilateral. Dalam hal ini dapat kita kemukakan contoh seperti, Konvensi
Hukum Laut, Konvensi Wina, Konvensi Bern,dll.
Selanjutnya prosedur
pembentukan konvensi ini pada umumnya masih tergantung pada kebiasaan masing-masing
negara sesuai dengan ketentuan konstitusi negaranya.
Oleh Mochtar disebutkan
tahapan-tahapan tertentu yang harus dilakukan dalam pembuatan perjanjian
internasional yaitu:
1.
Perundingan (negotiation)
2.
Penandatanganan (signatur)
3.
Pengesahan (ratification)
Selanjutnya mengenai
hal ini, berdasarkan Konvensi Wina 1969, menurut rangkaian pasal-pasalnya telah
pula memuat rangkaian tertentu tentang tahapan yang harus dilalui untuk membuat
perjanjian internasional. Pola tahapan itu menurut Ny. Mieke Komar, sebagaimana
dikutip oleh Syahmin AK, yaitu:
1.
Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa
penuh untuk dapat berunding, menerima, dan mengesahkan suatu perjanjian atau
nama negara yang diwakilinya dan dalam hal apakah diperlukan full powers
tersebut.
2.
Harus melalui tahapan perundingan dan
perlu ditentukan tentang cara penerimaan dan pengesahaan naskah perjanjian
3.
Harus dinyatakan secara tegas tentang
cara suatu negara dapat menyatakan persetujuan (consent)-nya untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian yakni dengan penandatanganan (signature), pertukaran
instruments ratifikasi, pernyataan ikut serta (accession), misalnya.
4.
Harus ditentukan perihal waktu antara
penandatanganan dan mulai berlakunya perjanjian.
Selanjutnya mengenai
prosedur ratifikasi tergantung pula pada konstitusi masing-masing negara. Untuk
Indonesia, hal ini diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi “Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang dan membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain”. Dari ketentuan ini untuk Indonesia , prosedur ratifikasi
itu dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Selain dasar hokum
nasional ada lagi dasar hokum internasional mengenai prosedur ratifikasi ini
yaitu yang diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties pada Pasal 43
Sub 3 Piagam PBB.
Vienna Convention dalam pasala 11
menyatakan:
The consent of a state
to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments
constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession or by
any other means it so agred.
Selanjutnya Pasal 43 Sub 3 Piagam PBB
berbunyi:
The
agreement or agreements shall be negotiated as soon as possible on the
initiative of the security council. They shall be concluded between the
security council and groups of members and shall be subject to ratification by
the signature state in accord dance with their respective constitutional
proceses.
Selain
itu dasar hokum internasional dalam hal ratifikasi selain terdapat dalam
konvensi juga dapat dijumpai perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral.
Ratifikasi ini penting
artinya bagi perjanjian internasional. Menurut hokum internasional bahwa
perjanjian internasional itu harus disahkan oleh tiap-tiap negara yang turut
serta dalam tersebut, agar ia mengikat.
Menurut Ali
Sastroamidjojo bahwa, perjanjian internasional itu sudah dianggap sah jika
persetujuan timbale balik (mutual consent) oleh semua pihak yang membuat perjanjian
itu telah dinyatakan secara konkrit.
Persetujuan timbal
balik itu ada apabila masing-masing pihak dalam perjanjian itu telah
meratifikasi.
Konvensi Wina 1969 merumuskan ratifikasi
sebagai berikut:
Ratification mean in
each case the international act so named where by a state establishes on the
international plane its consent to be bound by atreaty.
Ratifikasi dalam artian ini adalah merupakan
suatu tindakan negara yang dipertegas oleh pemberian persetujuannya untuk
diikat dalam suatu perjanjian.
Jika demikian halnya,
maka sesungguhnya ratifikasi itu mempunyai tujuan tertentu. Dengan ratifikasi
itu berarti memberikan kekuatan mengikat agar dengan demikian perjanjian
tersebut berlaku bagi negara-negara penandatanganan secara sah.
Vienna Convention 1969
menyatakan bahwa, Consent to be bound a
treaty expressed by ratification, acceptance or approval.
Maka dengan pemberian
ratifikasi tersebut berarti suatu negara yang bersangkutan telah menyatakan
persetujuannya untuk mengikat dirinya pada suatu perjanjian. Sebaliknya apabila
ratifikasi tersebut ditolak maka perjanjian itu dihapus sama sekali, meskipun
sebelulmnya telah ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang bersangkutan.
Secara juridis,
perjanjian internasional itu akan menerbitkan hak-hak dan kewajiban bagi negara
peserta. Maka apabila persetujuan telah tercapai timbullah hak-hak dan
kewajiban bagi para negara peserta yang telah mengikatkan dirinya. Hak yang ada
pada kita menimbulkan pula kewajiban kepada orang lain untuk menghormatinya,
demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian dapat
kita simpulkan bahwa tujuan dari perjanjian internasional adalah untuk melindungi
atau memberikan kepastan atas hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian
tersebut kepada semua negara peserta.
Kesimpulan tersebut
jika dikaitkan dengan konvensi internasional tentang hak cipta, maka akan
diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara internasional.
Secara teoritis, subjek
hokum internasional sebenarnya hanyalah negara-negara, dan dimana perjanjian
internasional seperti Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1941 memberikan
hak-hak dan kewajiban tertentu, maka hak-hak dan kewajiban itu diberikan
konvensi secara tidak langsung kepada perorangan atau individu melalui
negaranya yang menjadi peserta konvensi. Pada akhirnya individulah yang menjadi
tujuan perlindungan diadakannya konvensi internasional tentang hak cipta ini.
7.2 Berner Convention
Konvensi
Bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer (karya tulis) dan
artistic, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1986 dan telah
berulang kali mengalami revisi serta penyempurnaan.
Revisi pertama dilakukan
di Paris pada tanggal 4 Mei 1986, revisi berikutnya di Berlin pada tanggal 13
November 1908. Kemudian mengalami penyempurnaan di Bern pada tanggal 24 Maret
1914. Selanjutnya berturut-turut direvisi di Roma tanggal 2 Juli 1928 dan di
Brussels pada tanggal 26 Juni 1948 , di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967 dan
terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.
Sampai pada tahun 1971
keanggotaan Konvensi Bern berjumlah 45 negara. Mengenai rumusan pengertian hak
cipta menurut Konvensi Bern adalah sama seperti apa yang dirumuskan oleh
Austeurswet 1912.
Yang menjadi objek
perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni
yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah, dan kesenian dalam cara atau
bentuk pengutaraan apapun, demikian yang dapat diungkap dari rumusan Pasal 2
Konvensi Bern.
Dari Pasal 3 dapat
disimpulkan bahwa disamping karya-karya asli, dilindungi juga karya-karya yang
termasuk terjemahan, saduran, aransemen music, produksi lain berbentuk saduran
dari suatu karya sastra atau seni, termasuk karya photograpis. Satu hal yang
penting dalam Konvensi Bern adalah mengenai perlindungan yang diberikannya
terhadap pencipta atau pemegang hak.
Pasal 5 (setelah
direvisi di Paris tahun 1971) adalah merupakan pasal yang terpenting. Menurut
pasal ini para pencipta akan mendapatkan perlindungan yang sama seperti
diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh
konvensi ini. Dengan kata lain para pencipta yang merupakan warga negara dari
salah satu negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh perlindungan di
negara-negara yang tergabung dalam union.
Pasal 5 Konvensi Bern berbunyi:
Author shall enjoy in
respect of work to which they are protected under this convention, in countries
of the union other that the country of origin, the right which their respective
laws do now or may here after grant to their national as well as the right
specially granted by this convention.
Sudargo Gautama
mengatakan perlindungan menurut pasal ini adalah terutama perlindungan dari orang-orang
asing untuk karya mereka dalam negar-negara lain daripada negara dimana mereka
melakukan penerbitan pertama karya mereka. Pencipta diberikan perlindungan
dengan tidak menghiraukan apakah ada atau tidak perlindungan yang diberikan
oleh negara asalnya. Perlindungan yang diberikan adalah bahwa pencipta yang
bergabung dalam negara-negara yang terikat dalam konvensi ini memperoleh hak
dalam luas dan bekerjanya disamakan dengan apa yang diberikan oleh pembuat
undang-undang dari negara peserta sendiri jika digunakan secara langsung
perundang-undangnya terhadap warga negara sendiri. Jadi, warga negara dan warga asing diberikan perlindungan yang
sama.
Konvensi Bern telah
mengalami revisi dan penyempurnaan. Penyempurnaan yang penting artinya khusus
bagi negara dunia ketiga adalah dengan dimuatnya protocol (merupakan tambahan
atau supplement dari suatu perjanjian utama) yang memperhatikan kepentingan
negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli
1967.
Kemudian protocol ini telah
diberi tempat dalam appendix (tambahan/lampiran) tersendiri dalam konvensi ini.
Hal ini ditegaskan oleh Pasal 21 dari teks Konvensi Bern yang terjemahannya
berbunyi, “Ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan negara berkembang
dimasukkan dalam appendix tersendiri.
Dengan adanya protocol
Stockholm ini maka negara-negara berkemabang mendapatkan pengecualian atau
reserve yang berkenaan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern.
Pengecualian ini hanya berlaku untuk negara yang melakukan ratifikasi dari
protocol yang bersangkutan. Negara yang hendak melakukan pengecualian yang
semacam ini dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, social, atau cultural.
Pengecualian dapat
dilakukan mengai hal yang berkenaan dengan hak melakukan terjemahan, jangka
waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutio dari artikel-artikel dari berta
pers, hak untuk melakukan siaran radio dan perlindungan dari karya sastra dan
seni untuk tujuan pendidikan, ilmiah, atau sekolah.
Pasal II Protokol
Stockholm mencantumkan kemungkinan untuk memperolaeh lisensi (izin) secara
paksa untuk menerjemahkan karya-karya kuar negeri. Selain itu juga memuat
ketentuan pembatasan jangka waktu perlindungan hak cipta. Ketentuan yang
diterima 50 tahun dalam Konvensi Bern (Pasal 7), untuk negara berkembang dengan
Protokol Stockholm dikurangi menjadi 25 tahun setelah meninggalnya si pencipta.
7.3 Universal Copyright Convention (UCC)
Universal Copyright
Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1992 dan baru mulai
berlaku pada tanggal 16 September 1955. Konvensi ini juga mengalami revisi pada
tanggal 24 Juli 1971 di Paris. Konvensi ini terdiri dari 21 Pasal dilengkapi
dengan 3 protokol. Protokol I mengenai perlindungan karya dari orang-orang yang
tanpa kewarganegaraan dan orang pelarian.
Hal ini dapat
dimengerti karena secara internasional hak cipta terhadap orang-orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan atau orang-orang pelarian perlu dilindungi.
Salah satu tujuan perlindungan hak cipta itu dapat tercapai yaitu untuk
mendorong kreativitas dan aktivitas para pencipta tidak terkecuali orang-orang
yang tidak mempunyai kewarganegaraan amupun orang-orang pelarian. Dengan
dilindunginya hak ciptanya mereka mendapatkan kepastian hokum.
Protocol II mengenai
berlakunya konvensi ini atas karya dari organisasi internasional tertentu. Hal
ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara
harmonis. Ini lah yang menjadi dasar konvensi ini yang merupakan usaha dari
UNESCO, oleh sebab itu dalam protocol ini diatur secara khusus perlindungan
karya dari badan organisasi internasional.
Protocol III mengenai
tentang cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini
dengan bersyarat.
Universal Copyright
Convention, dalam Pasal V menyebutkan pengertian hak cipta. Menurut pasal ini
hak cipta meliputi hak tunggal pencipta untuk membuat, menerbitkan, dan memberi
kuasa untuk menerbitkan dan membuat terjemahan dari karya yang dilindungi
perjanjian ini.
Pasal IV bis
menyebutkan jika yang dianggap sebagai hak cipta adalah karya dalam bentuk asli
maupun terjemahannya. Khusus mengenai terjemahan, hak untuk melakukan
terjemahan pertama-tama diberikan dari pihak pencipta. Namun pasal ini juga
menentukan bahwa setiap negara peserta dapat menetapkan dalam perundangan
nasionalnya sendiri mengenai pembatasan hak terjemahan.
Pasal IV menentukan
pembatasan jangka waktu hak cipta yaitu selama hidup pencipta dan selama 25
tahun setelah meninggalnya pencipta.
Pasal V ayat 2, pasal V
ter dan pasal V bis mengatur tentang lisensi paksa dalam hal terjemahan. Jika
dikaitkan antara Pasal IV, Pasal IV bis, Pasal V, Pasal V bis, Pasal V ter,
bahwa Universal Copyright Convention ini memberikan batasan terhadap hak
monopoli pencipta. Artinya kepada seorang pencipta hasil suatu karya sebanyak
mungkin digunakan untuk kepentingan umum, jadi tidak untuk kepentingan pribadi
semata-mata.
Dalam hal ini banyak
yang diperhatikan untuk kepentingan negara berkembang. Itu sebabnya Pasal V ter
memberikan batasan tertentu terhadap ha pencipta asli untuk terjemahan yang
diupayakan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan.
Jika dibandingkan
antara Konvensi Bern dan Universal Copyright Convention, perbedaannya terletak
pada dasar falsafah yang dianutnya. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa
yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah dari pencipta pribadi, sehingga
menonjolkan sifat individualis yang memberikan hak monopoli.
Sedangkan Universal
Copryright Convention menganggap bahwa hak cipta timbul karena adanya ketentuan
yang memberikan hak tsb kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian
hak mengenai hak cipta dapat ditentukan oleh peraturan yang melahirkan hak
tersebut.
UHC 1982 diperbarui
dengan UHC 1987, dimana hak cipta dilahirkan oleh undang-undang.
Pembatasan-pembatasan tertentu antara lain menyebutkan bahwa hak cipta itu
berfungsi social.
Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar