Undang-undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 diundangkan
pada tanggal 12 April 1982, dalam Lembaran Negara Republik Indonesi No. 15
Tahun 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk
merombak system hokum yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada
suatu system hokum yang berlandaskan pada falsafah Negara Indonesia yaitu
Pancasila.
Pekerjaan membuat suatu undang-undang yang sesuai
dengan apa yang dicita-citakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
Undang-undang Hak Cipta 1982 yang dipebaharui dengan undang-undang No. 7 Tahun
1987, yang akan kita bicarakan sekarang adalah produk yang telah lama menjalani
masa penggodokannya. Hal ini dapat kita ketahui dengan adanya keinginan dari
bangsa Indonesia yang berusahan untuk membuat suatu undang-undang hak cipta
sendiri untuk menggantikan Auteurswet 1912 Stb. No. 600, yang merupakan
peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
Usaha-usaha itu dapat kita lihat dari pihak
pemerintah maupun swasta. Pada tahun 1958 Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (Prijono) bersama Menteri Kehakiman (G.A. Maengkom), telah
menyiapkan Rancangan Undang-undang Hak Cipta. Kemudian diteruskan dengan usaha
berikutnya oleh Departemen kehakiman yang kemudian dilanjutkan oleh LPHN
(sekarang BPHN) pada tahun 1965, yang juga telah menyiapkan Rancangan
Undang-undang Hak Cipta.
Kemudian tidak ketinggalan pula Rancangan
Undang-undang berikutnya dari pihak IKAPI pada 1972. Atas usaha diataslah
Undang-undang Hak Cipta No, 6 Tahun 1982 itu disusun. Harus dimengerti bahwa
UHC 1982 itu, bukanlah merupakan yang terbaik, tapi harus kita hargai bahwa ini
merupakan prestasi tertinggi dari bangsa
Indonesia dalam upaya untuk mewujudkan hokum nasional yang dicita-citakan.
Dengan demikian pula berakhirlah zaman “Auteurswet
1912” yang sempat mencapai usia sampai 70 tahun lamanya dalam sejarah
perundang-undangnan di Indonesia. Babak baru dalam sejarah perundang-undangan
hak cipta dimulai. Sejarah kemudian akan menentukan sampai berapa lama UU No.6
Tahun 1982 itu dapat bertahan, demikian Simorangkir mengajukan pertanyaan.
Ternyata apa yang diingikan sebelumnya tidaklah
demikian kenyataannya. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tidak dapat bertahan lama
seperti Auteurswet 1912. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 setelah bertahan selama
lebih kurang 5 tahun, ternyata tas beberapa pertimbangan perlu segera diubah.
Pertimbangan itu didasarkan kepada pengalaman,
selama pelaksanaan UU tersebut, dimana banyak ditemukan kelemahan. Hal itu
dapat dilihat dari ungkapan yang diajukan oleh pemerintah saat menyampaikan
keterangannya didepan Sidang Paripurna mengenai RUU tentang Perubahaan UHC No.6
Tahun 1982 tentang hak cipta yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Ismael
Saleh, SH. Atas nama pemerintah. Dikatakannya:
“Telah lima tahun lebih, sejak UU No. 6 Tahun 1982
tentang hak cipta disyahkan pada tanggal 12 April 1982, bangsa Indonesia
memiliki perangkat undang-undang yang mengatur perlindungan hokum bagi karya
cipta mereka di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Sealam waktu itu
pu;a, cukup banyak pengalaman yang telah memperkaya khasanah pandangan dan
kehidupan kita dibidang tersebut. Berbagai hal timbul dan menyadarkan kita
mengenai kekuatan dan kelemahan yang harus segera kita perbaiki demi
kepentingan dan masa depan kita sendiri. Sejauh ini, pemerintah memandang
pengalaman tersebut sebagai pelajaran yang benar-benar bermanfaat. Betapapun
memang harus diakui, bahwa konsepsi tentang hak cipta sebagai hal perorangan
bersifat eksklusif dan tidak berwujud, dan dari system hokum asing.”
Segi pertimbangan itu, telah mengarak jalannya
persidangan pada perubahan UHC No. 6 Tahun 1982 tersebut dalam UU No. 7 Tahun
1987. Diakui bahwa konsep yang menyangkut perlindungan hak cipta bukanlah ide
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ia tidak dapat dilepaskan dari pengalaman
sejarah perlindungan hal cipta dinegeri ini. Oleh karena itu prinsip-pronsip
umum tentang hak cipta diilhami oleh pengalaman sejarah itu. Meskipun kita
telah memiliki UU Hak Cipta sendiri, tetapi batasan-batasan tntang pengertian,
jeni-jenis hak cipta dan lain sebagainya tetap dipengaruhi oleh
perundang-undangan lama.
1.1
PENDAHULUAN
Sebelum
sampai pada pengertian Hak Cipta maka pada bagian ini terlebih dahulu
diperkenalkan sedikit latar belakang dikeluarnya Undang-undang No. 6 Tahun 1982,
yang diperbaharui dengan UHC No. 7 Tahun 1987. Dari konsiderans Undang-undang
No. 6 Tahun 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 tentang Hak
Cipta, dapat dilihat bahwa:
Undang-undang
ini dikeluarkan adalah untuk merealisasikan amanah GBHN (tahun 1987) dalam
rangka pembangunan dibidang hokum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi
pencipta dan hasil karya ciptaanya. Dengan demikian diharapkan penyebarluasan
hasil kebudayaan dibidang karya ilmu, seni dan sastra dapat dilindungi secara
juridis, yang pada gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa.
Kemudian
dengan keluarnya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini
secara tegas dinyatakan dicabut Austeurswet 1912 Stb. No. 600, karena tidak sesuai
dengan kebutuhan dan cita-cita hokum nasional.
Demikianlah
kita lihat tujuan dikeluarkannya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7
Tahun 1987, dan pada bagian lain telah pula menyebutkan istilah hak cipta.
Istilah
Hak Cipta diusulkan pertama kalinya oleh Prof. St. Moh. Syah, S.H pada Kongres
Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian diterima Kongres tersebut)
sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan
pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari
istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts.
Hak
cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagai perbandingan dalam tulisan ini penulis turunkan juga beberapa
pengertian hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan universal Copyright
Convention.
Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya
menyebutkan, “hak cipta adalah hak tunggal daripada pencipta, atau hak dari
yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil ciptannya dalam lapangan kesusteraan,
pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat
pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Universal Copyright Convention dalam
pasal V menyatakan sebagai berikut, “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta
untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari
karya yang dilindungi perjanjian ini.
Menurut Hutauruk ada dua unsure penting
yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 2
UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No. 7 Tahun 1987 itu, yaitu:
1. Hak
yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain
2. Hak
moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat
ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan
atau integritas ceritanya).
1.2
PENGGUNAAN
HAK CIPTA
Pasal 2 Undang-undang Hak Cipta 1982, yang
diperbarui dengan UHC No.7 Tahun 1987, secara tegas menyatakan dalam
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus
memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan oerundang-undangan yang
berlaku. Pembatasan dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap
menggunakan atau memfungsikan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya.
Dalam setiap perbuatan hokum yang menimbulkan akibat
hokum selalu diletakkan syarat tertentu. Menurut Vollmar, penggunaan wewenang
yang tidak memenuhi syarat yang dutentukan oleh undang-undang sudah pasti tidak
memperoleh perlindungan hokum.
Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan
terhadap hak cipta ini adalah agar setiap orang atau badan hokum tidak
menggunakan haknya secara sewenang-wenang.
Setiap penggunaan hak harus diperhatikan dahulu
apakah hal tersebut tidak bertentangan atau merugikan kepentingan umum.
Walaupun sebenarnya Pasal 2 UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun
1987 ini menyatakan hak cipta itu adalah hak khusus yang memberi arti bahwa
selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya selain dengan izin pencipta.
Ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya hak
individu itu dihormati, namun dengan adanya pembatasa maka sesungguhnya pula
dalam penggunaannya tetap didasarkan atas kepentingan umum. Oleh karenanya
Indonesia tidak menganut paham individualistis dalam arti sebenarnya. Hak
individu dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
UHC 1982, yang diperbarui dengan UHC No. 7 Tahun
1987 menyebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang
ilmu, sastra dan seni. Kemudian undang-undang ini memperinci lagi yang meliputi
karya:
1. Buku,
pamphlet dan semua hasil karya tulisan lainnya
2. Ceramah,
kuliah, pidato, dan sebagainya
3. Karya
pertunjukan seperti music, karawitan, drama, tari, perwayangan, apntomim dan
karya siaran antara lain untuk media radio, televisi dan film serta karya
rekaman video
4. Ciptaan
tari (koreografi), ciptaan lagu atau music dengan atau tanpa teks, dan karya
rekaman suara atau bunyi
5. Segala
bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat, seni patung, dan kaligrafi,
yang perlindungannya diatur dalam pasal 10 ayat (2)
6. Seni
batik
7. Karya
arsitektur
8. Peta
9. Karya
sinematografi
10. Karya
fotografi
11. Program
computer atau computer program
12. Terkemahan,
tafsiran, saduran, dan penyusun bunga rampai
Simorangkir
menulis “kalau kita lihat perincian yang diberikan menurut deret No. 1 sampai
dengan 11 dapat dikualifikasikan sebagai ciptaan asli”. Sedangkan ciptaan pada
No. 12 merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan asli.
Selanjutnya
ciptaan dari karya hasil pengolahan tersebut juga dilindungi sebagai hak cipta,
sebab bentuk pengolahan itu merupakan suatu ciptaan yang baru dan tersendiri pula.
Pemberian perlindungan dimaksud, selanjtnya ditentukan tidak mengurangi hak
cipta atas ciptaan aslinya.
Hal
tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 11 ayat 2 UHC 1982, yang diperbarui
dengan UHC 7 Tahun 1987 yang berbunyi:
“Terjemahan, tafsiran, saduran,, perfilman, rekaman, gubahan music, himpunan beberapa ciptaan dan lain-lain cara-cara memperbanyak dalam bentuk mengubah daripada ciptaan aslinya, dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.”
“Terjemahan, tafsiran, saduran,, perfilman, rekaman, gubahan music, himpunan beberapa ciptaan dan lain-lain cara-cara memperbanyak dalam bentuk mengubah daripada ciptaan aslinya, dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.”
1.3
UU
HAK CIPTA
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
6 TAHUN 1982
TENTANG
HAK CIPTA
Bagaian
Pertama
Arti
Beberapa Istilah
Pasal
1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan:
a.
Pencipta adalah seorang atau beberapa
orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi
b.
Ciptaan adalah hasil setiap karya
pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam lapangan ilmu, seni, dan sastra
c.
Pengumuman adalah pembacaanm penyuaraan,
penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan
dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau
dilihat oleh orang lain
d.
Perbanyakan adalah menambah jumlah
sesuatu ciptaan, dengan pembuatan yang sama, hamper sama atau menyerupai
ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama,
termasuk mengalih wujudkan sesuatu ciptaan
e.
Potret adalah gambaran dengan cara dan
alat apapun dari wajah orang yang digambarkan baik bersama bagian tubuh lainnya
maupun tidak
Bagian
Kedua
Fungsi
dan Sifat Hak Cipta
Pasal
2
Hak cipta adalah hak khusus bagi
pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
memupun memberi izin intuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal
3
1.
Hak cipta dianggap sebagai benda
bergerak
2.
Hak cipta dapat beralih atau diahlikan
baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a. Pewarisan
b. Hibah
c. Wasiat
d. Dijadikan
milik negara
e. Perjanjian,
yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanyaa
mengenai wewenang yang disebut di dalam akta itu
f. Pasal
4
g. Hak
cipta yang dimiliki oleh pencipta, demikian pula hak cipta yang tidak diumumkan
yang setelah penciptanya meninggal dunia menjadi milik ahli warisnya atau
penerima wasiat, tidak dapat disita
Bagian
Ketiga
Pencipta
Pasal
5
1.
Kecuali jika ada bukti tentang hal
sebaliknya, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang untuk ciptaan
itu namanya terdaftar sebagai pencita menurut ketentuan Pasal 29, atau jika
ciptaan itu tidak terdaftarkan, orang yang dalam atau pada ciptaannya itu
disebut atau dinyatakan sebagai penciptanya, atau orang yang pada pengumuman
sesuatu ciptaan diumumkan sebagai penciptanya
2.
Jika pada ceramah yang tidak tertulis
tidak ada pemberitahuan siapa yang menjadi penciptanya, maka orang yang
berceramah dianggap sebagai penciptanya, kecuali terbukti hal sebaliknya
Pasal
6
Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa
bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih, maka yang dianggap
sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh
ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang menghimpunnya, dengan
tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya
Pasal
7
Jika suatu ciptaan diwujudkan menurut
rancangan seseorang dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan
pengawasannya, maka orang yang merancang itu adalah penciptanya
Pasal
8
1.
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan
dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, maka pihak yang untuk
dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak cipta, kecuali
ada perjanjian lain antara kedua pihak, dengan tidak mengurangi hak si pembuat
sebagai penciptanya apabila penggunaan ciptaan itu diperluas keluar hubungan
dinas
2.
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan
kerja dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya,maka pihak yang membuat
karya cipta itu sebagai pencipta adalah pemegang hak cipta, kecuali apabila
diperjanjikan lain antara kedua pihak
Pasal
9
Jika suatu badan hokum mengumumkan bahwa
ciptaan berasal daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai pencitanya,
maka badan hokum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika dibuktikan
sebaliknya.
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
6 TAHUN 1982
TENTANG
HAK CIPTA
Pasal
1
a.
Pencipta harus menciptakan sesuatu yang
asli dalam arti tidak meniru
b.
Cukup jelas
c.
Cukup jelas
d.
Dengan mengalih wujudkan dimaksud
transformasi, seperti patung dijasikan lukisan, cerita roman menjadi drama,
drama bias menjadi drama radio dan sebagainya
Pasal
2
Dengan hak khusus dari pencipta
dimaksudkan bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu atau orang
lain kecuali dengan izin pencipta
Pasal
3
Hak cipta dianggap benda yang bergerak
dan immaterial
Hak cipta tidak dapat diahlikan secara
lisan, harus dengan akta otentik atau akta dibawah tangan
Pasal
4
Berhubung sifat ciptaan adalah pribadi
dan menunggal dengan diri pencipta, maka hak pribadi itu tidak dapat disita
dari padanya.
Pasal
5
Ayat 1
Cukup
jelas
Ayat 2
Yang
dimaksud disini hanya ceramah saja dan bukan pemain ciptaan music, karena
hamper semua pembawa lagu bukanlah penciptanya
Pasal
6 dan Pasal 7
Ketentuan dalam pasal-pasal ini
dimaksudkan untuk menetapkan siapa yang dianggap pencipta
Pasal
8
1.
Yang dimaksud dengan hubungan dinas
adalah hubungan kepegawaian negeri dengan instansinya
2.
Yang dimaksud dengan hubungan kerja
adalah hubungan karyawan dengan pemberi kerja di lembaga swasta
Pasal
9
Badan hokum sebagai pencipta dalam pasal
ini diatur tersendiri karena adanya beda khusus dari orang atau orang-orang
sevagai pencipta antara lain apabila ditinjau dari sudut masa berlakunya hak
cipta.
Dengan badan hokum disini dimaksudkan
juga instansi resmi.
Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar