Minggu, 11 Mei 2014

BAB 3 HAK CIPTA

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id


Undang-undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 diundangkan pada tanggal 12 April 1982, dalam Lembaran Negara Republik Indonesi No. 15 Tahun 1982. Undang-undang ini dikeluarkan sebagai upaya pemerintah untuk merombak system hokum yang ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada suatu system hokum yang berlandaskan pada falsafah Negara Indonesia yaitu Pancasila.
Pekerjaan membuat suatu undang-undang yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Undang-undang Hak Cipta 1982 yang dipebaharui dengan undang-undang No. 7 Tahun 1987, yang akan kita bicarakan sekarang adalah produk yang telah lama menjalani masa penggodokannya. Hal ini dapat kita ketahui dengan adanya keinginan dari bangsa Indonesia yang berusahan untuk membuat suatu undang-undang hak cipta sendiri untuk menggantikan Auteurswet 1912 Stb. No. 600, yang merupakan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda.
Usaha-usaha itu dapat kita lihat dari pihak pemerintah maupun swasta. Pada tahun 1958 Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (Prijono) bersama Menteri Kehakiman (G.A. Maengkom), telah menyiapkan Rancangan Undang-undang Hak Cipta. Kemudian diteruskan dengan usaha berikutnya oleh Departemen kehakiman yang kemudian dilanjutkan oleh LPHN (sekarang BPHN) pada tahun 1965, yang juga telah menyiapkan Rancangan Undang-undang Hak Cipta.
Kemudian tidak ketinggalan pula Rancangan Undang-undang berikutnya dari pihak IKAPI pada 1972. Atas usaha diataslah Undang-undang Hak Cipta No, 6 Tahun 1982 itu disusun. Harus dimengerti bahwa UHC 1982 itu, bukanlah merupakan yang terbaik, tapi harus kita hargai bahwa ini merupakan  prestasi tertinggi dari bangsa Indonesia dalam upaya untuk mewujudkan hokum nasional yang dicita-citakan.
Dengan demikian pula berakhirlah zaman “Auteurswet 1912” yang sempat mencapai usia sampai 70 tahun lamanya dalam sejarah perundang-undangnan di Indonesia. Babak baru dalam sejarah perundang-undangan hak cipta dimulai. Sejarah kemudian akan menentukan sampai berapa lama UU No.6 Tahun 1982 itu dapat bertahan, demikian Simorangkir mengajukan pertanyaan.
Ternyata apa yang diingikan sebelumnya tidaklah demikian kenyataannya. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tidak dapat bertahan lama seperti Auteurswet 1912. Undang-undang No. 6 Tahun 1982 setelah bertahan selama lebih kurang 5 tahun, ternyata tas beberapa pertimbangan perlu segera diubah.
Pertimbangan itu didasarkan kepada pengalaman, selama pelaksanaan UU tersebut, dimana banyak ditemukan kelemahan. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan yang diajukan oleh pemerintah saat menyampaikan keterangannya didepan Sidang Paripurna mengenai RUU tentang Perubahaan UHC No.6 Tahun 1982 tentang hak cipta yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Ismael Saleh, SH. Atas nama pemerintah. Dikatakannya:
“Telah lima tahun lebih, sejak UU No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta disyahkan pada tanggal 12 April 1982, bangsa Indonesia memiliki perangkat undang-undang yang mengatur perlindungan hokum bagi karya cipta mereka di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Sealam waktu itu pu;a, cukup banyak pengalaman yang telah memperkaya khasanah pandangan dan kehidupan kita dibidang tersebut. Berbagai hal timbul dan menyadarkan kita mengenai kekuatan dan kelemahan yang harus segera kita perbaiki demi kepentingan dan masa depan kita sendiri. Sejauh ini, pemerintah memandang pengalaman tersebut sebagai pelajaran yang benar-benar bermanfaat. Betapapun memang harus diakui, bahwa konsepsi tentang hak cipta sebagai hal perorangan bersifat eksklusif dan tidak berwujud, dan dari system hokum asing.”
Segi pertimbangan itu, telah mengarak jalannya persidangan pada perubahan UHC No. 6 Tahun 1982 tersebut dalam UU No. 7 Tahun 1987. Diakui bahwa konsep yang menyangkut perlindungan hak cipta bukanlah ide yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ia tidak dapat dilepaskan dari pengalaman sejarah perlindungan hal cipta dinegeri ini. Oleh karena itu prinsip-pronsip umum tentang hak cipta diilhami oleh pengalaman sejarah itu. Meskipun kita telah memiliki UU Hak Cipta sendiri, tetapi batasan-batasan tntang pengertian, jeni-jenis hak cipta dan lain sebagainya tetap dipengaruhi oleh perundang-undangan lama.

1.1              PENDAHULUAN
Sebelum sampai pada pengertian Hak Cipta maka pada bagian ini terlebih dahulu diperkenalkan sedikit latar belakang dikeluarnya Undang-undang No. 6 Tahun 1982, yang diperbaharui dengan UHC No. 7 Tahun 1987. Dari konsiderans Undang-undang No. 6 Tahun 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta, dapat dilihat bahwa:
Undang-undang ini dikeluarkan adalah untuk merealisasikan amanah GBHN (tahun 1987) dalam rangka pembangunan dibidang hokum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya. Dengan demikian diharapkan penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu, seni dan sastra dapat dilindungi secara juridis, yang pada gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
Kemudian dengan keluarnya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini secara tegas dinyatakan dicabut Austeurswet 1912 Stb. No. 600, karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita hokum nasional.
Demikianlah kita lihat tujuan dikeluarkannya UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987, dan pada bagian lain telah pula menyebutkan istilah hak cipta.
Istilah Hak Cipta diusulkan pertama kalinya oleh Prof. St. Moh. Syah, S.H pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 (yang kemudian diterima Kongres tersebut) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts.
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai perbandingan dalam tulisan ini penulis turunkan juga beberapa pengertian hak cipta menurut Auteurswet 1912 dan universal Copyright Convention.
            Menurut Auteurswet 1912 pasal 1-nya menyebutkan, “hak cipta adalah hak tunggal daripada pencipta, atau hak dari yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil ciptannya dalam lapangan kesusteraan, pengetahuan, dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
            Universal Copyright Convention dalam pasal V menyatakan sebagai berikut, “Hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.
            Menurut Hutauruk ada dua unsure penting yang terkandung dari rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 2 UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No. 7 Tahun 1987 itu, yaitu:
1.      Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain
2.      Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).

1.2              PENGGUNAAN HAK CIPTA
Pasal 2 Undang-undang Hak Cipta 1982, yang diperbarui dengan UHC No.7 Tahun 1987, secara tegas menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus memperhatikan pembatasan-pembatasan menurut peraturan oerundang-undangan yang berlaku. Pembatasan dimaksud sudah tentu bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memfungsikan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya.
Dalam setiap perbuatan hokum yang menimbulkan akibat hokum selalu diletakkan syarat tertentu. Menurut Vollmar, penggunaan wewenang yang tidak memenuhi syarat yang dutentukan oleh undang-undang sudah pasti tidak memperoleh perlindungan hokum.
Sebenarnya yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap hak cipta ini adalah agar setiap orang atau badan hokum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang.
Setiap penggunaan hak harus diperhatikan dahulu apakah hal tersebut tidak bertentangan atau merugikan kepentingan umum. Walaupun sebenarnya Pasal 2 UHC 1982, yang diperbaharui dengan UHC No.7 Tahun 1987 ini menyatakan hak cipta itu adalah hak khusus yang memberi arti bahwa selain pencipta orang lain tidak berhak atasnya selain dengan izin pencipta.
Ini menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya hak individu itu dihormati, namun dengan adanya pembatasa maka sesungguhnya pula dalam penggunaannya tetap didasarkan atas kepentingan umum. Oleh karenanya Indonesia tidak menganut paham individualistis dalam arti sebenarnya. Hak individu dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
UHC 1982, yang diperbarui dengan UHC No. 7 Tahun 1987 menyebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu, sastra dan seni. Kemudian undang-undang ini memperinci lagi yang meliputi karya:
1.      Buku, pamphlet dan semua hasil karya tulisan lainnya
2.      Ceramah, kuliah, pidato, dan sebagainya
3.      Karya pertunjukan seperti music, karawitan, drama, tari, perwayangan, apntomim dan karya siaran antara lain untuk media radio, televisi dan film serta karya rekaman video
4.      Ciptaan tari (koreografi), ciptaan lagu atau music dengan atau tanpa teks, dan karya rekaman suara atau bunyi
5.      Segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat, seni patung, dan kaligrafi, yang perlindungannya diatur dalam pasal 10 ayat (2)
6.      Seni batik
7.      Karya arsitektur
8.      Peta
9.      Karya sinematografi
10.  Karya fotografi
11.  Program computer atau computer program
12.  Terkemahan, tafsiran, saduran, dan penyusun bunga rampai
Simorangkir menulis “kalau kita lihat perincian yang diberikan menurut deret No. 1 sampai dengan 11 dapat dikualifikasikan sebagai ciptaan asli”. Sedangkan ciptaan pada No. 12 merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan asli.
Selanjutnya ciptaan dari karya hasil pengolahan tersebut juga dilindungi sebagai hak cipta, sebab bentuk pengolahan itu merupakan suatu ciptaan yang baru dan tersendiri pula. Pemberian perlindungan dimaksud, selanjtnya ditentukan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.
Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 11 ayat 2 UHC 1982, yang diperbarui dengan UHC 7 Tahun 1987 yang berbunyi:
“Terjemahan, tafsiran, saduran,, perfilman, rekaman, gubahan music, himpunan beberapa ciptaan dan lain-lain cara-cara memperbanyak dalam bentuk mengubah daripada ciptaan aslinya, dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya.”
1.3              UU HAK CIPTA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1982
TENTANG HAK CIPTA

Bagaian Pertama
Arti Beberapa Istilah
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a.       Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi
b.      Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam lapangan ilmu, seni, dan sastra
c.       Pengumuman adalah pembacaanm penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain
d.      Perbanyakan adalah menambah jumlah sesuatu ciptaan, dengan pembuatan yang sama, hamper sama atau menyerupai ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama, termasuk mengalih wujudkan sesuatu ciptaan
e.       Potret adalah gambaran dengan cara dan alat apapun dari wajah orang yang digambarkan baik bersama bagian tubuh lainnya maupun tidak
Bagian Kedua
Fungsi dan Sifat Hak Cipta
Pasal 2
Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya memupun memberi izin intuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 3
1.      Hak cipta dianggap sebagai benda bergerak
2.      Hak cipta dapat beralih atau diahlikan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
a.       Pewarisan
b.      Hibah
c.       Wasiat
d.      Dijadikan milik negara
e.       Perjanjian, yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanyaa mengenai wewenang yang disebut di dalam akta itu
f.       Pasal 4
g.      Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta, demikian pula hak cipta yang tidak diumumkan yang setelah penciptanya meninggal dunia menjadi milik ahli warisnya atau penerima wasiat, tidak dapat disita
Bagian Ketiga
Pencipta
Pasal 5
1.      Kecuali jika ada bukti tentang hal sebaliknya, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang untuk ciptaan itu namanya terdaftar sebagai pencita menurut ketentuan Pasal 29, atau jika ciptaan itu tidak terdaftarkan, orang yang dalam atau pada ciptaannya itu disebut atau dinyatakan sebagai penciptanya, atau orang yang pada pengumuman sesuatu ciptaan diumumkan sebagai penciptanya
2.      Jika pada ceramah yang tidak tertulis tidak ada pemberitahuan siapa yang menjadi penciptanya, maka orang yang berceramah dianggap sebagai penciptanya, kecuali terbukti hal sebaliknya
Pasal 6
Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih, maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang menghimpunnya, dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya
Pasal 7
Jika suatu ciptaan diwujudkan menurut rancangan seseorang dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasannya, maka orang yang merancang itu adalah penciptanya
Pasal 8
1.      Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, maka pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak cipta, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak, dengan tidak mengurangi hak si pembuat sebagai penciptanya apabila penggunaan ciptaan itu diperluas keluar hubungan dinas
2.      Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya,maka pihak yang membuat karya cipta itu sebagai pencipta adalah pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak
Pasal 9
Jika suatu badan hokum mengumumkan bahwa ciptaan berasal daripadanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai pencitanya, maka badan hokum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 1982
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 1
a.       Pencipta harus menciptakan sesuatu yang asli dalam arti tidak meniru
b.      Cukup jelas
c.       Cukup jelas
d.      Dengan mengalih wujudkan dimaksud transformasi, seperti patung dijasikan lukisan, cerita roman menjadi drama, drama bias menjadi drama radio dan sebagainya
Pasal 2
Dengan hak khusus dari pencipta dimaksudkan bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu atau orang lain kecuali dengan izin pencipta
Pasal 3
Hak cipta dianggap benda yang bergerak dan immaterial
Hak cipta tidak dapat diahlikan secara lisan, harus dengan akta otentik atau akta dibawah tangan
Pasal 4
Berhubung sifat ciptaan adalah pribadi dan menunggal dengan diri pencipta, maka hak pribadi itu tidak dapat disita dari padanya.
Pasal 5
Ayat 1
            Cukup jelas
Ayat 2
            Yang dimaksud disini hanya ceramah saja dan bukan pemain ciptaan music, karena hamper semua pembawa lagu bukanlah penciptanya
Pasal 6 dan Pasal 7
Ketentuan dalam pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menetapkan siapa yang dianggap pencipta
Pasal 8
1.      Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian negeri dengan instansinya
2.      Yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan karyawan dengan pemberi kerja di lembaga swasta
Pasal 9
Badan hokum sebagai pencipta dalam pasal ini diatur tersendiri karena adanya beda khusus dari orang atau orang-orang sevagai pencipta antara lain apabila ditinjau dari sudut masa berlakunya hak cipta.
Dengan badan hokum disini dimaksudkan juga instansi resmi.



Refrensi:
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo Persada.


Selasa, 22 April 2014

Matriks & Vektor

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id
Nama        : Melinda Prasetyo
NPM        : 38412217
Kelompok : 2 (Dua) - Vektor
Kelas        : 2ID03



Jumat, 21 Maret 2014

Essay Diri Sendiri

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id
                
                 Nama saya Melinda Prasetyo. Saya lahir pada 17 Oktober 1993 di kota Jakarta. Menurut cerita dari mama, untuk melahirkan saya butuh sedikit perjuangan. Pada saat mama mau ngelahirin, dokter yang seharusnya menangani mama sedang keluar kota jadi kata susternya, mama saya harus mengunggu dulu untuk mencari pengganti dokter yang lain, yang saat itu semua dokter kandungannya sedang sibuk. Akhirnya setelah sekitar 1 jam lebih barulah dokternya datang.
                Saya anak kedua dari 3 bersaudara, saya mempunyai satu kakak cewek dan satu adek cowok. Dari kecil saya anak yang hiperaktif, gak bisa diem, saya juga bandel gak bisa diatur, jadilah saya sering diomelin mama. Waktu kecil saya dekat sama papa, karena papa bisa diajak becanda, kalo mama lebih sering marahnya. Tapi setelah besar dan badan juga lebih tinggi dari mama, mama udah jarang ngomel.
                Dari semasa SD hingga SMP saya termasuk orang yang rajin, aktif, dan ramah sama semua orang dari temen, guru-guru,satpam,ob,ibu kantin semua kenal. Waktu SD saya ikut  pengajian dan pernah ikut lomba solat dan juara 1.
                Waktu awal masuk kuliah, saya sedikit canggung karena setelah lulus SMA saya nganggur 1 tahun untuk focus masuk PTN jadilah selama setahun saya dirumah saja. Waktu pertama kali masuk kelas, saya menyendiri dan dengan muka yang jutek temen-temen yang lain sempat menyeletuk saya psikopat. Untungnya teman-teman laki-lakinya lucu-lucu dan asik jadi buat saya cepat untuk beradaptasi.
                Buat saya teman-teman kuliah saya terutama teman-teman dari tingkat 1 sudah seperti sodara sendiri, terutama yang cewek-ceweknya karena kalau tidak ada mereka, tidak tau gimana kuliah saya, mereka banyak sekali membantu saya. Kalau teman-teman yang cowoknya, asik-asik bisa buat saya ketawa disaat bosan dan bisa saya jailin dan gak pernah marah.
                Untuk dilingkungan rumah, karena saya baru pindah rumah sudah kurang dari setahun ini dan juga selalu sibuk dengan tugas-tugas kuliah, jadilah saya tidak dekat dengan tetangga-tetangga disekitar rumah.


Senin, 17 Maret 2014

BAB 2 HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

2.1       Pendahuluan

Prof. Mahadi ketika menulis buku tentang Hak Milik Immateril mengatakan, tidak diperoleh keterangan jelas tentang asal usul kata “hak milik intelektual”. Kata “intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut tak diketahui ujung pangkalnya.

Namun demikian dalam kepustakan hokum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini kemungkinan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”,yang sebenarnya menurut hemat penulis lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi hak kekayaan intelektual. Alasannya adalah kata “Hak Milik” sebenernya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hokum. Padahal tidak semua hak kekayaan intelektual itu meruapakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu.

2.2       Hukum Kekayaan Intelektual
Jika ditelusuri lebih jauh, hak milik intelektual sebenarnya merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam kerangka hokum perdata dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori. Salah satu diantara kategori itu, adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal itu dapatlah dilihat batasan benda yang dikemukakan oleh pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh Hak Milik. Untuk pasal ini, kemudian Prof. Mahadi menawarkan, seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: yang dapat menjadi ibyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.

Selanjutnya sebagaimana diterangkan oleh Prof. Mahadi, barang yang dimaksudkan oleh pasal 499 KUH Perdata tersebut adalah benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda immaterial. Ini sejalan dengan klasifikasi benda menurut pasal 503 KUH Perdata, yaitu penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud (tidak bertubuh).

Benda immaterial yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan lain sebagainya. Selanjutnya mengenai hal ini Pitlo, sebagaimana dikutip oleh Prof. Mahadi mengatakan, serupa dengan hak tagih, hak immaterial itu tidak mempunyai benda (berwujud) sebagai obyeknya. Hak milik immaterial termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499 KUH Perdata. Oleh karena itu hak milik immaterial itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu hak benda. Selanjutnya dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolut yang obyeknya bukan benda. Itulah yang disebut dengan nama hak kekayaan intelektual (intellectual property rights).

Kaya “hak milik” (baca juga: hak kekayaan) atau “property” yang digunakan dalam istilah tersebut di atas, sungguh menyesatkan, kata Mrs. Noor Mout-Bouwman. Oleh karena kata harta benda/property menisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal hak kekayaan intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil. Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta itu dapat berwujud dalam bidang seni, industry dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiga-ketiganya.

Keterangan Bouwman ini sedikit dapat memberikan kejelasan terhadap usaha pencarian Prof. Mahadi yang dikemukakan pada awal bab ini mengenai asal usul kata “intelektual”.

Mungkin karena adanya unsure daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya, hingga kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.

Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya. Yang disebut terakhir ini adalah benda berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan (berupa hak kekayaan intelektual) dan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan dalam bisang hak paten (hak kekayaan intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaannya adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak kekayaan intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi oleh hokum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut,
1.      Hak Cipta (Copy Rights)
2.      Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights)

Hak Cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu:
1.      Hak Cipta dan
2.      Hak yang berpadu-padan dengan hak cipta (Neighbouring Rights)

Istilah Neighbouring Rights, belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa hokum Indonesia. Ada yang menterjemahkannya dengan istilah hak bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menterjemahkannya dengan istilah hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta.

Penulis menggunakan istilah “hak yang berpadu-padan dengan Hak Cipta”, oleh karena kedua hak itu (Copy Rights maupun Neighbouring Rights) adalah dua hak yang semula bersatu (berpadu tetapi dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Neighbouring Rights, dalam hokum Indonesia, pengaturannya masih ditumpangkan dengan pengaturan Hak Cipta. Namun jika ditelusuri lebih lanjut Neighbouring Rights itu lahir dan adanya hak cipta induk. Misalnya liputan pertandingan sepak bola adalah hak cipta sinematografi, tetapi untuk penyiarannya di televisi yakni berupa siaran adalah Neighbouring Rights.

Keduanya masih merupakan satu kesatuan, tetapi dapat dipisahkan. Begitu pula antara hak cipta lagu dengan hak penyiaran, yang pertama merupakan hak cipta sedangkan hak yang disebut terakhir adalah Neighbouring Rights. Itulah alasannya, kami lebih cendrung merasakan menggunakan istilah hak berpadu-padan dengan hak cipta, untuk terjemahan istilah Neighbouring Rights. Kedua hak itu saling melekat, saling menempel, tetapi dapat dipisahkan. Adanya Neighbouring Rights selalu diikuti dengan adanya hak cipta, namun sebaliknya adanya hak cipta tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan ada tidaknya Neighbouring Rights.

2.3       Hukum Kekayaan Industri

Selanjutnya hak kekayaan perindustrian dapat diklasifikan lagi menjadi:
1.      Patent (Paten)
2.      Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3.      Industrial Design (Desain Industri)
4.      Trade Merk (Merek Dagang)
5.      Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang)
6.      Indication of Source or Appelation of Origin (Sumber tanda atau sebutan asal)

Pengelompokan hak kekayaan perindustrial seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literature, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari Negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak kekayaan perindustrian yang dilindungi disamping tersebut di atas ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: Trade Secrets, Service Mark dan Unfair Competition Protection. Sehingga hak kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Patent
2.      Utility Models
3.      Industrial Secrets
4.      Trade Secrets
5.      Trade Marks
6.      Service Marks
7.      Trade Names or Commercial Names
8.      Appelations of Origin
9.      Indications of Origin
10.  Unfair Competition Protection

Berdasarkan kerangka WTO/TRIP’s ada dua bidang lagi yang perlu ditambangkan yakni:
1.      Perlindungan varietas baru tanaman, dan
2.      Integrated Circuits (sirkuit terpadu)

Dalam perundang-undangan tentang hak milik intelektual di Indonesia bidang-bidang yang termasuk dalam cakupan Intellectual Property Rights tersebut belum ada diatur secara lengkap. Oleh karena itu masing-masing bidang tersebut ditempelkan saja peraturannya dalam perundang-undangan yang sudah ada.

Sampai saat ini yang hanya baru ada pengaturannya, yaitu tentang Hak Cipta yang diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 jo. UU No.7 Tahun 1987, tentang Merek diatur dalam UU No. 19 Tahun 1992, dan tentang Paten diatur dalam UU No.6 Tahun 1989.

Meskipun demikian dalam waktu dekat, Indonesia akan menerbitkan beberapa peraturan baru tentang hak kekayaan intelektual, disamping hak cipta, paten dan merek, yang saat ini sedang diajukan rancangan undang-undang untuk merevisi undang-undang yang sudah ada, juga diajukan rancangan undang-undang lainnya yakni, yang mengatur tentang desain produksi industry, perlindungi variates baru tanaman, rahasia dagang dan sirkuit terpadu (Integrated Citcuits).

Jika ketujuh RUU baru itu disahkan menjadi undang-undang, maka dalam tatanan hokum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual di Indonesia akan meliputi bidng-bidang sebagai berikut:
1.      Hak Cipta
2.      Paten
3.      Merek
4.      Desain Produksi Industri
5.      Perlindungan Varietas Baru Tanaman
6.      Rahasia Dagang
7.      Sirkuit Terpadu (Integrated Circuits).

Jika kita bandingkan dengan ruang lingkup yang diatur dalam hak kekayaan intelektual yakni 14 bidang, maka Indonesia masih harus menerbitkan peraturan-peraturan banyak yang mencakup keseluruhan bidang hokum hak kekayaan inetektual. Namun demikian, khusus untuk bidang yang tidak dikenal dalam hokum Indonesai (seperti Trade Names atau Commercial Names) tidak perlu diprioritaskan. Akan tetapi peraturan untuk itu harus juga dipersiapkan, mengingatkan peraturan bidang hak kekayaan intelektual ini, mengandung implikasi global. Apalagi setelah isu hak kekayaan intelektual iini dimasukkan dalam agenda GATT/WTO (1994) dan diletakkan di bawah satu dewan, yakni Dewan TRIP’s.

Selain hak-hak yang disebut di atas menurut hemat penulis, ada bentuk figur hukum baru lagi yang patut juga untuk dimasukkan ke dalam bagian hak kekayaan perindustrian, yaitu hak yang terbit dari perjanjian franchising. Pengaturan tentang hal ini di Indonesia samapai saat ini belum ada, namun hubungan hokum yang berkenaan dengan bidang ini sudah berlangsung dalam praktek sehari-hari.


Dalam perjanjian franchising, bukan wujud bendanya yang dilindungi seperti KFC, Pizza Hut atau merek yang melekat pada produk tersebut, tetapi adalah hak untuk boleh melaksanakan resep dalam produk makanan dan minuman tersebut beserta seluruh atribut yang harus dipenuhi dalam pemasaran produk tersebut. Ada benda immaterial yang menjadi obyek perjanjian dalam perikatan tersebut. Benda immaterial itulah yang dimasudkan sebagai hak kekayaan perindustrian dalam perikatan franchising tersebut. Oleh karena itu menurut hemat penulisan, jika suatu saat nanti Indonesia akan menciptakan peraturan perundang-undangan tentang franchising, seyogyanya figur hukum ini haruslah ditempatkan dalam kerangka hokum benda, tepatnya dalam sistematika benda tidak berwujud bersama-sama dengan hak kekayaan perindustrian lainnya.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

BAB 1 PENDAHULUAN

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

1.1       Pendahuluan

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia, maka secara ketatanegaraan terputuslah hubungan seluruh tata tertib hokum Indonesia dengan tata tertib hukum Hindia Belanda. Bersamaan dengan itu lahirlah Negara Indonesia yang bebas penjajahan. Demikian pula dengan tata tertib hukumnya, dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Untuk menyusun tata tertib hokum yang berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, membutuhkan waktu karena itu suasana setelah proklamasi dinyatakan sebagai “masa peralihan”. Sadar akan hal ini, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945, menempatkan dalam ketentuannya beberapa pasal aturan peralihan.

Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pasal yang terpenting. Pasal tersebut menyebutkan bahwa, “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini berarti peraturan yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, KUH Dagang, KUH Pidana, AB, IS dan berbagai peraturan lainnya yang tersebar dalam bentuk parsial yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih tetap diberlakukan.

Setelah mengalami masa waktu yang panjang, maka secara berangsur-angsur isi dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan Perudang-undangan lainnya itu dinyatakan dicabut. Sebagai contoh dapat dikemukakan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai Bumi, Air, serta Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku setelah dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Buku I KUH Perdata dicabut sepanjang menganai Perkawinan setelah keluar UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, HIR dicabut setelah keluar UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan beberapa pengecualian.

Demikian juga mengenai peraturan-peraturan lain yang dimuat diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912, dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, tentang Hak Cipta.

Undang-Undang yang disebut terakhir ini, menjalani banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Namun belum lagi selesai tantangan untuk menggantikan Hukum Kolonial dengan Hukum Indonesia, timbul pula tantangan baru. Tantangan baru itu adalah UU Produk Indonesia Merdeka yang semula dimaksudkan untuk menggantikan Hukum Kolonial ternyata belum siap untuk menjawab problema hokum dalam masyarakat Indonesia. Untuk kasus ini sebut saja misalnya UU No. 6 Tahun 1982 yang merupakan produk hukum Negara Republik Indonesia yang baru saja berusia lima tahun dengan berbagai pertimbangan, terpaksa harus direvisi. Hal ini disebabkan ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan tuntutan hokum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu dengan UU No. 7 Tahun 1987, UU No . 6 Tahun 1982 tersebut kemudian diperbaharui.

Demikianlah usaha-usaha pemerintah dalam rangka pembangunan di bidang hukum sebagaimana diisyaratkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP No. II/MPR/1983, TAP MPR II/MPR/1988, dan TAP MPR II/MPR/1993 yang diupayakan untuk menuju penyusunan kodifikasi hukum Nasional yang didasarkan kepada landasan sumber tertib hukum yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

1.2       Definisi dan Istilah Hukum Industri Pada Terbentuknya Jiwa Inovatif

Kodifikasi Hukum Nasional yang dimaksud meliputi antara lain bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.

Pengaturan tentang Hak Cipta adalah merupakan bidang Hukum Perdata yang termasuk dalam bagian Hukum Benda. Khusus mengenai Hukum Benda di sana terdapat pengaturan tentang Hak Kebendaan. Hak Kebendaan itu sendiri terdiri atas Hak Benda Materil dan Immateril. Dalam tulisan ini kami hanya mengetengahkan tentang Hak Atas Benda Immateril, yang dalam kepustakaan hokum sering disebut dengan istilah Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights) yang teridiri dari Copy Rights (Hak Cipta) dan Industrial Property Rights (Hak Milik Industri). Hak Cipta adalah merupakan, hasil atau penemuan yang merupakan kreativitas manusia di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Masalah Hak Cipta adalah masalah yang sangat luas, karena tidak menyangkut hak-hak individu saja yang berada dalam lingkungan nasional, tetapi juga menembus dinding-dinding dan batas-batas suatu Negara yang untuk selanjutnya bergumul dalam lingkungan Internasional.

Sama halnya dengan Hak Cipta dalam hal perlindungan Hak Milik Industri yang terdiri dari Hak Merek, Hak Paten, Hak Desain Produk Industri, dan lain-lain maka perlindungannya juga menembus dinding-dinding Nasional.

Arti penting perlindungan Hak Milik Intelektual ini menjadi lebih dari sekedar keharusan setelah dicapainya kesepekatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan pada bulan Januari 1995. Dalam struktur lembaga WTO terdapat dewan umum (General Council) yang berada di bawah Dirjen WTO. Dewan umum ini selanjutnya membawahi tiga dewan, yang salah satu di antaranya adalah dewan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

TRIPs ini dapat dikatakan sebagai isu baru dalam kancah perekonomian internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan peranan kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Bagi Indonesia dan Negara-negara Selatan, ini sudah tentu akan menimbulkan persoalan tersendiri, yang cendrung menempatkan Negara-negara ini pada posisi yang sulit untuk tidak dikatakan pada posisi yang tertindas. Oleh karenanya perhatian khusus serta pemahaman tersendiri terhadap Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka WTO menjadi sangat penting.

Ternyata persoalan-persoalan diatas tidak pula berhenti sampai disitu saja. Era globalisasi yang ditandai dengan kecendrungan Negara-negara di dunia membentuk blok-blok ekonomi juga membawa persoalan tersendiri dalam perlindungan hokum Hak Kekayaan Intelektual.

Masuknya jenis-jenis makanan dari luar negeri seperti beberapa fast food restaurant yang marak di Indonesia dikenal dengan bisnis Franchise. Dalam bisnis Franchise ada Hak Kekayaan Intelektual yang ditawarkan. Mulai dari Hak Cipta, Merek, dan Desain Produk Industri (kemasan) samapai kepada Hak Paten.

Sayangnya sampai saat ini, dalam tata hukum Indonesia figur hukum Franchise ini belum mendapatkan tempat yang pasti dalam kerangkan sistem Hukum Perdata.


Beberapa catatan dalam berbagai seminar mengenai Franchise belum ada suatu pembahasan mengenai tempat Franchisee dalam kerangka Hukum Benda. Padahal ada benda immateril yang ikut dialihkan dalam perikatan antara Franchisor dengan Franchisee.

Refrensi:
Saidin, S.H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Minggu, 01 Desember 2013

GENERASI DAN REGENERASI

GUNADARMA University www.gunadarma.ac.id

GENERASI
Pembentukan sebuah generasi dan regenerasi bukanlah sebuah masalah pada masa kini saja, hal ini sudah menjadi permasalahan bersama sejak dahulu. Melalui sebuah proses regenerasi atau pembentukan generasi baru ini lah akan terlihat seperti apa penerus sebuah masyarakat di masa depan. Pada generasi baru lah beban kehidupan masa depan diletakkan. Proses pembentukan generasi baru ini diharapkan akan menghasilkan generasi yang ideal, yaitu generasi yang sesuai dengan yang dicita-citakan atau dikehendaki.
Menurut Notosusanto pengertian generasi itu sendiri sebenarnya lebih berlaku untuk kelompok inti yang menjadi panutan masyarakat zamannya, yang dalam suatu situasi sosial dianggap sebagai pimpinan atau paling tidak penggaris pola zamannya (pattern setter).Di Indonesia, dianggap telah ada empat generasi, yaitu
  1. generasi  pada tahun 1920
  2. generasi pada tahun 1945
  3. generasi pada tahun 1966
  4. generasi reformasi pada tahun 1998
Suatu generasi harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pada zamannya, melaksanakan pembangunan dengan sumber daya yang ada dan yang akan ada, serta menjaga kelangsungan dan kelanjutan dari pembangunan dan sumber daya tersebut.Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem dan mekanisme pembangunan dalam keseluruhan yang melibatkan semua pihak, baik aparatur, peraturan, pengawas, maupun rakyatnya (grass-root). Selain itu, diperlukan juga kajian-kajian sosial seperti ekonomi, kependudukan (demografi) dan ekologi untuk pendukungnya. Cara pandang kita terhadap pengertian generasi, baik dari sisi terminologi maupun fakta dan persepsinya tidak dapat dilakukan dengan terlalu sederhana. Dari generasi ke generasi selalu memunculkan permasalahan yang khusus dan pola penyelesaiannya akan khas pula tergantung faktor manusia dan kondisi yang ada pada zamannya. Masing-masing generasi mencoba menjawab tantangan yang khas pada masanya dan seharusnyalah dipandang secara holistik (menyeluruh) untuk mempelajari dan mengkajinya. Pemahaman tentang sejarah dan wawasan yang luas sangat mempengaruhi tantang penilaian dan persepsi terhadap keberadaan suatu generasi dan masyarakat secara keseluruhan. Bila kita kaitkan antara generasi dengan pembangunan, maka keberadaan generasi tidak akan terlepas dari karakter dan ciri-ciri penduduk suatu bangsa beserta kondisinya. Masalah penduduk yang meliputi jumlah, komposisi, persebaran, perubahan, pertumbuhan dan ciri-ciri penduduk berkaitan langsung dengan perhitungan-perhitungan pembangunan, baik konsep, tujuan maupun strategi pembangunan suatu bangsa. Penduduk suatu bangsa dapat merupakan modal yang sangat penting bagi pembangunan (sumber daya), tetapi jika tidak dipelajari dan disesuaikan akan dapat menjadi faktor penghambat yang cukup penting pula. Masing-masing negara mempunyai kebijakan regenerasi yang berbeda dalam menangani masalah penduduk dan dalam melakukan kaderisasi.


REGENERASI
Regenerasi dalam biologi adalah menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau lepas. Daya regenerasi paling besar pada echinodermata dan platyhelminthes yang dimana tiap potongan tubuh dapat tumbuh menjadi individu baru yang sempurna. Pada Anelida kemampuan itu menurun. Daya itu tinggal sedikit dan terbatas pada bagian ujung anggota pada amfibi dan reptil. Pada mamalia daya itu paling kecil, terbatas pada penyembuhan luka.
Regenerasi mempunyai beberapa makna, pertama pembaruan semangat tata susila, kedua penggantian alat rusak atau hilang dengan pembentukan jaringan sel yang baru, ketiga penggantian generasi tua kepada generasi muda, peremajaan. Regenerasi berasal dari dua kata yaitu RE yang artinya kembali dan GENERASI adalah angkatan. Jadi secara harfiah Regenerasi adalah angkatan kembali, REGENERATION dalam bahasa inggris yang artinya Kelahiran kembali , pembaharuan jiwa. Di eropa pernah terjadi masa kelahiran kembali yang disebut Renaissance. Renaissance terjadi pada abad 15 sampai 16 masehi atau sering disebut middle age.
Regenerasi menjadi suatu kewajiban organisasi. Organisasi hidup karena kepedulian mereka terhadap regenerasi. Pentingnya regenerasi dalam suatu organisasi ini yaitu pengkaderan anggota agar berkualitas. Organisasi tidak akan berjalan tanpa adanya regenerasi tapi seperti apakah generasi tersebut. Generasi penerus organisasi dan penerus bangsa tidak lain ditentukan dari kualitas generasi tersebut. Pada saat ini banyak sekali generasi muda Indonesia yang bagus dan berkualitas namun masih takut untuk terjun atau muncul dalam dunia politik. Faktor salah satunya adalah generasi muda saat ini mempunyai anggapan bahwa politik itu kotor, kejam, korupsi dan amburadul.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kesadaran dan tingkat partisipasi pemuda pada dunia politik disumbangkan oleh kaum muda. Padahal kesadaran dan partisipasi pemuda dalam politik sangat penting dalam rangka melanjutkan pembangunan bangsa yang lebih baik.
''Anak muda adalah calon pemimpin bangsa, untuk menjadi pemimpin tidak berdasarkan umur tetapi pada kemauan, kemampuan dan kesempatan. Niat tersebut harus ditanamkan pada diri sendiri untuk tambahan semangat,'' kata Hendi, sapaan Hendrar Prihadi.
Remaja – remaja Indonesia pada saat ini sebagai generasi muda yang selanjutnya yang akan meneruskan cita-cita sebuah bangsa, untuk memimpin dan mengatur sebuah Negara, haruslah memiliki kepribadian yang baik, kecerdasan yang dilandasi dengan ilmu dan wawasan yang luas, memiliki jiwa yang semangat, pikiran terbuka dan tujuan yang baik, berbobot dan bermanfaat serta berjuang untuk kemajuan bangsa dan Negara. Sayangnya generasi muda Indonesia pada saat ini telah banyak terjerumus pada dunia modernisasi dan westernisasi sehingga melupakan adat ketimuran yang kita miliki yang di kenal oleh Negara lain sebagai Negara yang menjunjung tinggi moral dan adat kesopanan tapi fakta mengatakan lain. Generasi Indonesia saat ini mengalami krisis identitas dan korban dari gaya hidup hedonisme barat. Semakin banyak life style dari luar Negara Indonesia yang masuk semakin tidak terkandali generasi muda Indonesia saat ini.
Jika di lihat dari latar belakang, generasi- generasi muda saat ini yang korban dari budaya permisif yang tidak terikat dengan nilai dan norma bisa di pastikan di antaranya adalah kurangnya pendidikan agama dari keluarga, kurangnya perhatian, kepudulian, dan kasih sayang dari keluarga, lingkungan yang tidak mendukung, pola hidup yang terlalu bebas dan individualisme, teman sepergaulan yang menyukai kehidupan bebas, dan rapuhnya iman serta kepribadian.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Regenerasi
http://rhegulusnazgul.wordpress.com/2011/03/11/generasi-muda-indonesia-pada-saat-ini/